Logo Bloomberg Technoz

Risalah ini menegaskan kesiapan pejabat The Fed untuk mempertahankan suku bunga acuan dalam jangka waktu lebih lama, seiring perubahan kebijakan di Washington yang memperburuk ketidakpastian ekonomi. Dalam pertemuan Mei, The Fed memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25% hingga 4,5% untuk ketiga kalinya secara berturut-turut.

Salah satu faktor utama yang mendorong ketidakpastian ini adalah kebijakan perdagangan Donald Trump yang penuh gejolak. Pertemuan The Fed bulan ini berlangsung hanya beberapa hari sebelum AS dan China mengumumkan kesepakatan sementara untuk menurunkan tarif atas produk masing-masing.

Meski terdapat jeda tarif sementara, bea masuk terhadap impor tetap berada pada level yang tinggi secara historis, dan banyak pelaku usaha menunda perekrutan serta investasi.

Secara umum, para ekonom memperkirakan tarif akan mendorong inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Namun, beberapa peramal telah menurunkan prediksi resesi tahun ini menyusul meredanya ketegangan dengan China.

Dalam risalah disebutkan bahwa staf The Fed telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk 2025 dan 2026, sebagai dampak dari kebijakan perdagangan yang telah diumumkan.

“Staf menilai kemungkinan terjadinya resesi hampir setara dengan skenario dasar yang mereka prediksi,” tulis risalah tersebut.

Staf memproyeksikan pasar tenaga kerja akan melemah “secara substansial”, dengan tingkat pengangguran diperkirakan melebihi tingkat alami (natural rate) tahun ini dan tetap tinggi hingga 2027. Tarif juga diperkirakan akan mendorong inflasi “secara signifikan” tahun ini.

Ekspektasi Inflasi

Risalah juga menunjukkan perhatian besar para pejabat terhadap ekspektasi inflasi jangka panjang masyarakat AS, terutama untuk mengantisipasi agar kenaikan harga akibat tarif tidak berkembang menjadi inflasi yang berkepanjangan.

"Hampir semua" peserta menyatakan kekhawatiran bahwa inflasi bisa jadi lebih bertahan lama dibandingkan yang diperkirakan.

Salah satu indikator ekspektasi inflasi masyarakat dari Universitas Michigan menunjukkan lonjakan tahun ini, terutama akibat tarif. Namun, para pejabat The Fed sejauh ini meremehkan hal tersebut dan berpendapat bahwa ekspektasi inflasi tetap terjaga, merujuk pada indikator berbasis pasar.

"Para peserta mencatat bahwa komite mungkin akan menghadapi pilihan kebijakan yang sulit jika inflasi terbukti lebih persisten sementara prospek pertumbuhan dan pekerjaan melemah," demikian tertulis dalam risalah. Ditambahkan pula bahwa “dampak akhir dari perubahan kebijakan pemerintah terhadap perekonomian masih sangat tidak pasti.”

Tinjauan Kerangka Kebijakan

The Fed juga melanjutkan pembahasan terkait tinjauan berkala terhadap kerangka kebijakan mereka, yakni dokumen strategis yang menjadi acuan pelaksanaan kebijakan moneter.

Gubernur The Fed Jerome Powell sebelumnya menyatakan bahwa sudah waktunya untuk mengevaluasi kembali bahasa dalam kerangka kerja saat ini, terutama terkait pendekatan “rata-rata inflasi” dan kekurangan terhadap target pekerjaan bank sentral.

Setelah tinjauan terakhir yang rampung pada 2020, The Fed mengadopsi kerangka baru yang memungkinkan inflasi sedikit berada di atas target 2% “untuk beberapa waktu” setelah periode inflasi berada di bawah target. Pendekatan ini dikenal sebagai “penargetan inflasi rata-rata yang fleksibel.”

Namun, risalah menunjukkan bahwa para pejabat kini cenderung memilih pendekatan yang sedikit berbeda, yakni “penargetan inflasi fleksibel”, di mana mereka berusaha mengembalikan inflasi ke target 2% tanpa perlu mengompensasi penyimpangan sebelumnya.

(bbn)

No more pages