Menurut Media, pendekatan yang digunakan tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang ini. Ia mengungkap, masyarakat pada tahun 1970-an mayoritas mengeluarkan sebagian besar uangnya untuk kebutuhan makanan.
"Apakah pendekatan ini masih relevan? Memang beberapa perspektif faktanya tahun 1970-an mayoritas nya untuk konsumsi. Memang untuk makanan, saat itu belum ada handphone, internet, ataupun Gopay. Saat itu 70% konsumi makanan. Tapi saat ini banyak konsumsi non makanan yang begitu esensial. Struktur ekonomi saat ini sudah berubah," jelasnya.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menambahkan, data pemerintah mengenai angka kemiskinan dan pengangguran terbuka belum akurat.
"Data yang dimiliki pemerintah belum by name by address," tegasnya.
Menurut Bhima, data angka kemiskinan dan pengangguran harus akurat. Hal tersebut bertujuan agar pemerintah bisa memberikan bantuan yang menyasar masyarakat miskin.
"Karena situasi ekonomi mengalami tekanan. Artinya situasi ekonomi yang memburuk akan menimbulkan banyak sekali kehilangan lapangan kerja. Ini dibutuhkan akurasi data untuk tahu siapa yang harus dibantu oleh pemerintah," kata Bhima dalam diskusi publik, Rabu (28/5/2025).
Kata dia, dengan banyaknya tekanan ekonomi yang terjadi menyebabkan masyarakat menengah turun dan masuk dalam kelompok miskin. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan akurasi data mengenai jumlah masyarakat miskin yang ada.
"Dilihat dari simpanan perorangan yang terjadi penurunan, ini situasi makan tabungan. Ini mengindikasikan ada kelompok menengah hari ini, dengan adanya tekanan ekonomi termasuk suku bunga tinggi mereka turun menjadi orang miskin baru," sebutnya.
"Dan apa data orang miskin baru juga sudah diambil oleh pemerintah, sebagai penerima berbagai bantuan yang menyasar masyarakat miskin. Kalau data tidak akurat, pengambil kebijakan bingung, bagian mana yang harus diintervensi," pungkasnya.
(lav)