Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperingatkan skema pendanaan transisi energi antara PT PLN dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak selaras, sehingga berisiko menambah beban negara hingga Rp489 triliun pada 2025—2040.

Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II-2024, BPK menyimpulkan bahwa pengelolaan transisi energi dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) masih belum efektif.

Hal itu terefleksi dari gagalnya pencapaian target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2023 akibat skenario dan strategi pendanaan yang tidak sinkron antara PLN dan Kementerian ESDM.

“Perbedaan atau ketidakselarasan skenario transisi energi antara PLN dan Kementerian ESDM ditunjukkan pada perbedaan target penambahan kapasitas pembangkit dan skema sistem kelistrikan,” papar BPK dalam laporan tersebut, dikutip Selasa (27/5/2025).

Bauran energi primer di Indonesia./dok. Bloomberg

BPK menggambarkan perencanaan dalam proyek kapasitas pembangkit green enabling super grid rupanya juga memengaruhi biaya investasi yang akan dikeluarkan oleh PLN.

Perencanaan biaya investasi tersebut—bersamaan dengan perencanaan produksi tenaga listrik — akan memengaruhi biaya pokok produksi (BPP) listrik yang juga berdampak pada kenaikan tarif atau beban subsidi dan kompensasi yang harus ditanggung oleh pemerintah.

Tidak hanya itu, BPK menggarisbawahi bahwa dukungan strategi pendanaan transisi energi di RI belum mencakup mitigasi kenaikan beban bunga pinjaman.

“Permasalahan ini dapat menghambat pemenuhan target transisi energi dan berpotensi meningkatkan interest bearing debt yang berasal dari bunga pinjaman, menjadi sebesar Rp824 triliun atau melebihi batas aman Rp500 triliun,” papar lembaga tersebut.

“[Hal tersebut juga berisiko] meningkatkan beban subsidi dan kompensasi listrik mencapai Rp489 triliun pada 2025—2040, jika tidak didukung strategi pendanaan yang baik.”

Risiko Gagal

Akibat risiko-risiko tersebut, BPK memperingatkan target pelaksanaan transisi energi pada Enhanced National Determined Contribution (ENDC) dalam hal mencapai penurunan emisi di sektor energi berisiko tidak tercapai.

Untuk itu, BPK telah merekomendasikan kepada Direktur Utama PLN agar berkoordinasi lebih proaktif dengan Kementerian ESDM.

Keduanya diminta mensinkronkan kebijakan skenario transisi energi, serta memasukkannya ke dalam dokumen perencanaan, yaitu; RUPTL, Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP), dan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP).

PLN dan Kementerian ESDM juga diminta mengembangkan dan menyusun strategi pendanaan yang komprehensif dalam dokumen perencanaan tersebut dengan tetap mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan kesehatan keuangan PLN, serta meminimalkan kenaikan beban subsidi dan kompensasi.

Kementerian ESDM sebelumnya kembali menurunkan target EBT dalam bauran energi primer nasional pada 2025, dari 23% menjadi antara 17%—20%.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan perubahan target tersebut menyesuaikan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Eniya tidak menampik mencapai target awal bauran EBT sebesar 23% akan sulit direalisasikan pada tahun ini. Terlebih, pada 2024 saja, capaian EBT dalam bauran energi nasional hanya 14,68% dari seharusnya 19,5%.

"Dalam satu tahun ini kita akan berusaha untuk paling tidak mencapai target sesuai KEN [yaitu bauran EBT sebesar] 20%, sedangkan target di versi rendahnya KEN itu 17% pada 2025," ucap Eniya di sela rapat dengan Komisi XII DPR RI, medio Februari.

Alih-alih, target EBT sebesar 23% dalam bauran energi primer diproyeksikan baru bisa tercapai pada 2030. Sementara itu, hingga 2045 atau saat periode Indonesia Emas, target bauran EBT ditargetkan sebesar 46%.

Eniya mengelaborasi Indonesia masih menghadapi banyak tantangan untuk menutup kesenjangan antara target dan realisasi energi bersih di Tanah Air. Misalnya, ketiadaan jaringan transmisi untuk menyalurkan listrik dari sumber EBT ke pusat permintaan.

Target RUPTL

Dalam perkembangan terbaru, pemerintah baru saja menerbitkan RUPTL 2025—2034 yang salah satunya menugaskan PLN untuk menambah kapasitas listrik terpasang mencapai 69,5 gigawatt (GW) pada periode tersebut.

Adapun, sebagian besar kapasitas listrik itu ditargetkan berasal dari pembangkit EBT mencapai 42,6 GW, sekitar 61% dari keseluruhan rencana kapasitas pembangkit terpasang.

Sementara itu, PLN memiliki ruang sebesar 16,6 GW untuk menambah kapasistas listrik dari pembangkit fosil. Alokasi pembangkit fosil itu mengambil porsi mencapai 24% dari total kapasitas pembangkit dalam dokumen RUPTL tersebut.

Di sisi lain, PLN bakal ikut mendorong investasi pada kapasitas penyimpinan listrik atau storage mencapai 10,3 GW selama 10 tahun mendatang.

“Sebenarnya gas ini bukan lagi fosil an sich ya dia setengah, di Eropa saja masih batu bara kok di Turki saja masih ada batu bara, kita saja yang kekinian,” kata Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Senin (26/5/2025).

Menurut kalkulasi PLN, peluang investasi untuk pembangkit selama 10 tahun mendatang mencapai Rp2.133,7 triliun, sekitar 73% dialokasikan untuk pengembang swasta atau independent power producer (IPP). 

Perinciannya, alokasi investasi untuk IPP sebanyak Rp1.566,1 triliun dengan porsi pembangkit EBT sebesar Rp1.341,8 triliun dan non EBT mencapai Rp224,3 triliun.

Sementara itu, porsi investasi pembangkit PLN mencapai Rp567,6 triliun. Dari alokasi itu, rencana investasi PLN senilai Rp340,6 triliun untuk pembangkit EBT, dan sisanya Rp227 triliun untuk pembangkit non-EBT.

“Ini kita perhitungkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi kita yang akhirnya mencapai 8%” kata Bahlil.

(wdh)

No more pages