Logo Bloomberg Technoz

Tantangan dan risiko tersebut, lanjut Simon, mencakup aspek logistik, distribusi, serta kesiapan infrastruktur hingga aspek keekonomian untuk mitigasi risiko yang dapat mengganggu ketahanan energi nasional.

“Risiko utama adalah dari sisi jarak dan waktu pengiriman dari Amerika Serikat yang jauh lebih panjang yaitu sekitar 40 hari dibandingkan dengan sumber pasokan dari Timur Tengah ataupun negara Asia,” terangnya.

Jika terjadi kendala cuaca—seperti badai atau kabut — rute pelayaran yang jauh tersebut akan menimbulkan dampak langsung terhadap ketahanan stok nasional.

Untuk itu, Simon mengatakan Pertamina saat ini tengah melakukan kajian komprehensif; mencakup aspek teknis, komersial, dan risiko operasional guna memastikan skenario peningkatan suplai migas dari AS dapat dieksekusi secara efektif.

“Selain itu juga, kami memerlukan dukungan kebijakan dari pemerintah dalam bentuk payung hukum, baik melalui peraturan presiden maupun peraturan menteri, sebagai dasar pelaksanaan kerja sama suplai energi bagi Pertamina,” tegasnya.

Dia pun memastikan Pertamina telah berkoordinasi dengan tim perunding yang dipimpin Kemenko Bidang Perekonomian dan saat ini tengah menjajaki ketersediaan suplai dari AS yang sesuai, baik dari sisi kualitas, volume, hingga aspek komersial yang tetap kompetitif.

Terlepas dari negosiasi tarif tersebut, Simon menyebut Pertamina selama ini sebenarnya sudah memiliki kerja sama rutin dengan AS untuk suplai komoditas migas.

Kerja sama tersebut mencakup minyak mentah sekitar 4% dari total impor nasional dan LPG 57%. Adapun, total nilai impor kedua komoditas tersebut dari AS mencapai US$3 miliar per tahun.

Jika pemerintah menugaskan Pertamina untuk menambah impor migas dari AS sebagai bagian dari negosiasi tarif, lanjutnya, sifatnya hanya realokasi kuota dari negara lain dan bukan menambah kuota impor kumulatif nasional.

“Perlu kami sampaikan dan garis bawahi bahwa pengalihan ini bersifat shifting sumber pasokan bukan penambahan volume impor. Kami tetap berkomitmen menjaga efisiensi volume impor dan memastikan ketahanan energi nasional tetap menjadi prioritas utama.”

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor migas Indonesia sepanjang 2024 mencapai US$36,27 miliar. Postur impor itu berasal dari pembelian minyak mentah sekitarUS$10 miliar dan hasil migas sebesar US$25,92 miliar. 

Adapun, impor LPG Indonesia sepanjang 2024 mencapai 6,89 juta ton dengan nilai mencapai US$3,78 miliar. Porsi impor LPG dari Amerika Serikat mencapai 3,94 juta ton, dengan nilai impor US$2,03 miliar. 

Selain AS, Indonesia mengimpor LPG dari Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, Arab Saudi hingga Algeria. 

(mfd/wdh)

No more pages