Bahlil sebelumnya mengatakan akan mengambil sebagian WIUP perusahaan pelat merah tersebut ketika tidak mematuhi program andalan Presiden Prabowo Subianto yakni hilirisasi batu bara.
“Nanti kita akan kasih tugas, kalau tidak [menjalankan] tugas, kita ambil sebagian wilayahnya,” kata Bahlil saat ditanya mengenai penugasan proyek gasifikasi batu bara menjadi DME terhadap PTBA, ditemui di Kementerian ESDM, Kamis (8/5/2025).
Bahlil menegaskan PTBA bukanlah regulator. Dalam hal ini, keputusan mengenai hilirisasi batu bara menjadi DME berada di bawah Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi dan Menteri Investasi dan Hilirisasi. Dengan demikian, dia mengisyaratkan PTBA harus tunduk arahan satgas pemerintah.
“[Pihak] yang mengurus hilirisasi itu adalah Satgas Hilirisasi dan Menteri Investasi dan Hilirisasi. [PTBA] dia kan bukan regulator,” ujarnya.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno menyatakan agenda hilirisasi batu bara hanya diwajibkan bagi perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai kelanjutan operasi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).
Dari ketentuan itu, Tri meluruskan PTBA sebagai anggota holding BUMN pertambangan PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID) sejatinya tidak memiliki kewajiban untuk menjalankan agenda hilirisasi batu bara karena izin yang dikantongi merupakan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
"Kalau PTBA itu kan IUP, dia tidak mempunyai kewajiban apapun. Tapi kalau misalnya dia mau membangun, silakan," ungkapnya dalam rapat bersama Komisi XII DPR, Selasa (6/5/2025).
Tri pun menjelaskan saat ini ada tujuh perusahaan tambang batu bara yang mendapat kewajiban menjalankan hilirisasi batu bara, yakni PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Multi Harapan Utama, PT Tanito Harum, dan PT Berau Coal.
Produk hilirisasi sejumlah perusahaan tersebut mulai dari DME, metanol, amonia, listrik urea, hingga semikokas dengan kapasitas input batu bara yang juga bervariasi pada setiap perusahaan.
Kendala PTBA
Di hadapan anggota legislatif sebelumnya, Direktur Utama PTBA Arsal Ismail menyatakan proyek DME masih terkendala sehingga butuh kajian yang mendalam. Arsal menyebut faktor keekonomian menjadi penghambat utama dari proyek itu.
“Nah hanya untuk DME memang kita perlu dilakukan kajian yang sangat mendalam ya karena di samping investasinya besar, ya itu juga harus benar-benar memberikan nilai tambah yang buat bangsa dan negara ini,” ucap Arsal.
DME sejatinya digadang-gadang dapat menjadi substitusi gas minyak cair atau liquefied petroleum gas (LPG), karena impor komoditas tersebut yang terus naik dari tahun ke tahun. Akan tetapi, proyek itu justru lebih mahal ketimbang impor LPG.
"Pertama itu tantangan keekonomian, di mana estimasi harga DME hasil produksinya masih lebih tinggi dari harga patokan yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM, dan juga analisis perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG impor," beber Arsal.
Di samping tantangan keekonomian, PTBA juga harus mengonversikan infrastruktur, seperti jalur distribusi maupun perangkat kompor rumah tangga supaya bisa kompatibel dengan produk DME.
"Jaraknya itu kurang lebih 172 km, serta perlu kesiapan jaringan niaga dan distribusi bahan bakar alternatif ini secara luas," tambah dia.
Arsal menegaskan, pihaknya secara aktif melakukan penjajakan dengan calon mitra potensial, terutama perusahaan dari China seperti China National Chemical Engineering Group Corporation (CNCEC), China Chemical Engineering Second Construction Corporation (CCESCC), Huayi, Wanhua, Baotailong, Shuangyashan, dan East China Engineering Science and Technology Co Ltd (ECEC).
"Dari seluruh calon mitra tersebut, baru ECEC gitu ya yang menyatakan minat menjadi mitra investor meski belum dari dalam skema investasi penuh atau full investment," jelasnya.
ECEC sendiri telah menyampaikan preliminary proposal coal to DME pada 18 November 2024 yang lalu dengan processing service fee (PSF) indikatif yang diusulkan berada di rentang US$412—US$488 per ton. Angka tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan ekspektasi Kementerian ESDM pada 2021 sebesar US$310 per ton.

Pembengkakan Subsidi
Dalam paparannya, Arsal membeberkan adanya risiko pembengkakan subsidi sebesar Rp41 triliun/tahun apabila DME dari hasil gasifikasi batu bara menyubstitusi subsidi energi untuk LPG.
Arsal mengungkapkan estimasi harga DME yang akan dihasilkan oleh PTBA ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan asumsi keekonomian pemerintah.
Berdasarkan hasil kajian konsultan PTBA yakni Ernst & Young (EY), harga produksi DME yang dihasilkan di dalam negeri mencapai US$911/ton—US$987/ton atau lebih tinggi dari asumsi pemerintah sebesar US$617/ton.
Dalam perhitungan PTBA, nilai subsidi untuk DME bisa mencapai sebesar US$710/ton atau lebih besar dibandingkan dengan nilai subsidi untuk LPG pada kesetaraan DME saat ini sebesar US$474/ton.
Arsal memerinci harga subsidi LPG eksisting saat ini ditetapkan sebesar Rp22.727 per 3 kg, jika dikalkulasikan secara tahunan dan diasumsikan sekitar 10,78 juta ton/tahun atau setara Rp82 triliun/tahun.
Sementara itu, untuk DME subsidi dibutuhkan sebesar Rp34.069 per 3 kg. Dalam setahun, estimasi kebutuhan DME sebesar 10,78 juta ton/tahun atau setara Rp123 triliun per tahun.
Dengan demikian, terdapat selisih Rp41 triliun yang merupakan risiko kenaikan subsidi.
“Tantangan keekonomian di mana estimasi harga DME hasil produksi masih lebih tinggi dari harga patokan yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM. Dan juga analisis perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG impor,” imbuh Arsal.
(mfd/wdh)