Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Mantan Komisaris Utama PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terheran-heran atas fakta bahwa Kejaksaan Agung (Kejagung) memiliki banyak data atas bukti terkait kasus dugaan korupsi PT Pertamina Persero,  dibanding milikinya.

Ahok menjadi saksi dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.

"Saya juga kaget-kaget gitu loh, kok gila juga ya. Saya bilang gitu, saya kok nggak tahu [bukti] itu," katanya di Gedung Jampidsus Kejagung, Kamis (13/3/2025).

Ahok menyebut, wajar dirinya tidak mengetahui secara pasti bagaimana operasional yang dilakukan pada level lebih bawah. Pasalnya Ahok mengaku dirinya hanya berperan sebagai Komisaris Utama PT Pertamina dengan fungsi sebagai pegawas.

"Kita tuh hanya me-monitoring dari RKAP gitu lho. Nah itu kan untung rugi-untung rugi, kebetulan kinerja Pertamina kan bagus terus selama saya di sana gitu kan," ucap Ahok.

Saat ditanya mengenai dugaan pengoplosan minyak yang dilakukan para tersangka, Ahok mengaku penyidik tidak menanyakan hal tersebut, seraya menyatakan ada beberapa poin yang tidak bisa dijelaskannya kepada awak media.

"Kalau pengoplosan saya kira itu, di sini penyidik nggak pernah tanya itu. Ini memang ada soal sesuatu yang saya nggak bisa ngomong. Nanti di sidang pasti penyidik akan kasih lihat, tapi ya saya kaget, ternyata lebih dalam mereka tahu yang saya kira di kulit."

Sebelumnya, kasus ini booming setelah diduga terjadi praktik pengoplosan BBM jenis RON 92 atau pertamax yang terjadi pada periode 2018-2023. Selama kurun waktu tersebut, para pelaku mencampur BBM impor jenis RON 88 (premium) atau RON 90 (pertalite) dengan RON 92.

BBM oplosan tersebut kemudian dipasarkan pada seluruh SPBU Pertamina sebagai pertamax atau BBM nonsubsidi. Tak hanya itu, para pelaku juga melakukan mark up biaya logistik pengiriman BBM impor hingga 13-15%.

Dalam kasus ini, jaksa setidaknya mencatat terjadi kerugian negara hingga Rp193,7 triliun per tahun. Kerugian negara tersebut terdiri dari kerugian dari ekpor minyak mentah dalam negeri Rp35 triliun.

Kemudian, kerugian impor minyak mentah melalui broker Rp2,7 triliun; kerugian impor BBM melalui broker Rp9 triliun; kerugian kompensasi Rp126 triliun; dan kerugian pemberian subsidi Rp21 triliun.

Sehingga, jika diasumsikan angka kerugian negara tiap tahun tak berbeda jauh, maka selama periode lima tahun, kerugian negara dari kasus tersebut bisa menembus Rp900 triliun.

(wep)

No more pages

Artikel Terkait

Baca Juga

Lainnya


Z-Zone