Logo Bloomberg Technoz

Kas perusahaan smelter yang semula telah dialokasikan untuk pembayaran utang perbankan berpotensi berkurang akibat kewajiban pembayaran pajak yang lebih tinggi.

Sementara itu, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan potensi kenaikan tarif pajak akibat pemberlakuan GMT di Indonesia akan memengaruhi ongkos produksi industri nikel di Tanah Air.

“Kembali lagi, semuanya itu berpengaruh ke biaya produksi. Ujung-ujungnya di biaya produksi. Biaya produksi ini kan tidak hanya menghitung bahan baku, tetapi keseluruhan [termasuk komponen tarif],” terangnya.

Menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), per 2024, Indonesia memiliki setidaknya 190 proyek smelter nikel; terdiri dari 54 yang sudah beroperasi, 120 sedang tahap konstruksi, dan 16 dalam tahap perencanaan.

Dari 190 smelter tersebut, hanya 8 atau 9 yang memiliki teknologi berbasis hidrometalurgi untuk mengolah limonit menjadi bahan baku baterai, sedangkan sisanya berbasis pirometalurgi.

Kebutuhan bijih nikel, padahal, berada pada level 200.000 ton untuk 54 smelter yang sudah beroperasi. Sementara itu, cadangan nikel Indonesia saat ini diklaim mencapai 5,3 miliar ton.

Dengan asumsi 190 smelter bakal beroperasi dan kebutuhan bijih nikel bakal meningkat tiga kali lipat, Kementerian ESDM mengkhawatirkan industri pengolahan nikel bakal selesai 4—5 tahun ke depan bila tidak ada tambahan cadangan.

Permasalahan tersebut, kata Meidy, makin kompleks lantaran inkonsistensi regulasi di Indonesia membuat investor di sektor hilirisasi nikel acapkali kesulitan mengalkulasikan arus kasnya secara cermat.

“Perusahaan tidak bisa fix berhitung cash flow dengan aturan baru yang membuat bingung. Ulang lagi dari nol. Namanya investor kan tentu maunya mencari margin,” ujarnya.

Realisasi Investasi Smelter 2014—2024 (Bloomberg Technoz)

Implementasi GMT 

Sebagai konteks, GMT adalah tarif pajak minimal yang harus dibayarkan oleh perusahaan multinasional. Di Indonesia, mayoritas smelter nikel merupakan perusahaan investor asing yang kemungkinan besar bakal menjadi objek pajak minimum global ini.

Adapun, implementasi GMT merupakan bagian dari kesepakatan Pilar 2 Global Anti Base Erosion (GLoBE) yang dirancang oleh G20 dan dikoordinasikan oleh OECD. Saat ini, sudah ada lebih dari 40 negara yang mengadopsi kebijakan GMT mulai 2025.

Regulasi mengenai GMT di Indonesia sendiri termaktub di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024 tentang Pengenaan Pajak Minimum Global Berdasarkan Kesepakatan Internasional.

Menurut aturan tersebut, implementasi GMT di Indonesia akan berlaku efektif mulai Tahun Pajak 2025.

PMK tersebut juga mengatur bahwa pajak minimum global ini berlaku bagi perusahaan multinasional yang memiliki pendapatan tahunan konsolidasi minimal 750 juta euro atau setara dengan sekitar Rp12,5 triliun.

Dikutip dari situs resmi Ditjen Pajak Kemenkeu, perusahaan yang memenuhi kriteria akan dikenakan pajak minimum sebesar 15%.

Tarif ini diberlakukan untuk memastikan bahwa setiap perusahaan membayar pajak dengan tarif efektif yang adil, serta mencegah penghindaran pajak melalui tax haven. Implementasi melalui pengaturan dalam ketentuan domestik berdasarkan common approach.

Dalam implementasinya, menurut Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), jika tarif pajak efektif yang dikenakan di negara tertentu kurang dari 15%, perusahaan tersebut diwajibkan membayar pajak tambahan (top up) paling lambat akhir tahun pajak berikutnya.

Misalnya, untuk Tahun Pajak 2025, pembayaran top up harus diselesaikan paling lambat 31 Desember 2026. Pemerintah memberikan waktu 15 bulan setelah tahun pajak berakhir untuk pelaporan GMT.

Namun, khusus untuk tahun pertama penerapan, diberikan kelonggaran hingga 18 bulan. Dengan demikian, untuk Tahun Pajak 2025, pelaporan pertama wajib disampaikan paling lambat 30 Juni 2027.

(wdh)

No more pages