Logo Bloomberg Technoz

Fenomena ini bisa dilihat dari kebiasaan banyak lembaga yang terburu-buru menghabiskan anggaran menjelang akhir tahun. Pangkal persoalan inilah yang perlu mendapat perhatian dan pembenahan.

“Bukannya mereka mau mencari solusi daripada layanan, tapi motivasinya tuh ngabisin anggaran,” sambung dia.

Alfons lantas menyoroti bagaimana persaingan antar lembaga dalam mendapatkan anggaran sering kali mengesampingkan tujuan utama dari proyek itu sendiri. 

Dia memberikan contoh, salah satunya dalam pembentukan lembaga siber atau pengelolaan data, di mana motivasinya bukan untuk meningkatkan layanan, tetapi lebih kepada siapa yang mendapatkan anggaran untuk menjalankannya.

Tujuan utama pada akhirnya “jadi berebut kalau disuruh mengelola data, tanggung jawab semua, berebut gitu.”

Profil Pemenang Tender Coretax Rp1,22 T, Ada Anak Usaha LG Group

“Tapi habis dapat anggarannya, lalu dipakailah. Tetapi layanannya sendiri ya seperti hari ini terjadi [permasalahan],” terang Alfons.

Dengan demikian, keputusan untuk menunda implementasi Coretax dan kembali ke sistem lama adalah cermin dari perencanaan yang kurang matang, kata Pakar keamanan siber dan forensik digital dari Vaksincom, Alfons Tanujaya.

Untuk diketahui, dalam kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi XI dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan pada Senin (10/2/2025) menyepakati jalan tengah, adalah memanfaatkan sistem perpajakan yang lama seiring dengan penggunaan Coretax.

Dalam kaitan itu, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo memastikan sistem Coretax yang baru diluncurkan pada 1 Januari 2025 itu tetap berjalan.

DJP selanjutnya secara bersamaan akan mengkaji jenis layanan perpajakan yang dirasa perlu untuk menggunakan sistem yang lama.

“Jadi nanti yang dirasa perlu kita menggunakan sistem yang lama. Peluncuran [rolling out] Coretax tetap jalan, kalau perlu misalnya dijumpai sesuatu yang mesti kembali ke sistem lama kami jalankan,” terang Suryo.

Begini Cara Daftar NPWP Online di Coretax

DJP Kemenkeu sudah membuka kembali sistem layanan lama berupa e-Faktur Dekstop untuk memfasilitasi penerbitan e-faktur selain Coretax bagi perusahaan besar.

Dengan demikian, Kemenkeu mengatakan tengah menyusun peta jalan (roadmap) mitigasi yang dilakukan untuk Coretax. Ditjen Pajak, lanjut Suryo, juga membuka peluang bahwa seluruh layanan perpajakan bisa menggunakan sistem baru  hasil integrasi tersebut dan tidak menunda implementasinya.

“Nanti kita evaluasi, kami lapor juga dengan Komisi XI [DPR RI]. Tadi kami sampaikan kesepakatan secara berkala, kita akan update progresnya,” jelas Suryo.

Menkeu Sri Mulyani sebelumnya menjanjikan perbaikan Coretax, yang menelan biaya Rp1,2 triliun. Ia mengaku bahwa tidak mudah merintis sebuah sistem baru.

“Saya tahu beberapa dari Anda masih mengeluhkan tentang (kinerja sistem pajak) Coretax. Kami akan terus meningkatkannya. Membangun sistem serumit Coretax dengan lebih dari 8 miliar transaksi bukanlah hal yang mudah. Namun ini bukan alasan,” kata Sri Mulyani kemarin.

Sistem Coretax (Coretax Administration System atau Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan) sejatinya telah diumumkan sejak lama dengan tujuan kelancaran administrasi dan peningkatan rasio perpajakan hingga 1,5% dari PDB.

Peningkatan sistem pajak juga didasari atas semakin besarnya jumlah wajib pajak, dimana Sri Mulyani mengungkapkan, WP Indonesia kini menjadi 70 juta, “dan jumlah dokumen yang harus diproses oleh sistem pajak kita juga meningkat seperti, e-faktur kita yang tadinya 350 juta dokumen sekarang meningkat menjadi 776 juta dokumen.”

Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan pun meyakini perbaikan sistem perpajakan melalui Coretax bisa meningkatkan penerimaan negara hingga Rp1.500 triliun, yang seluruh administrasi idealnya telah berlaku sejak 1 Januari 2025.

(wep)

No more pages