Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Direktur Utama PT GoTo Gojek Tokopedia, Patrick Sugito Walujo berpandangan bahwa target pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8% tidak semata bergantung pada penguatan manufaktur. Menurutnya keuntungan kompetitif Indonesia justru berada pada sektor lain. 

"Saya memiliki pandangan yang berbeda. Menurut saya, keunggulan kompetitif Indonesia berada di sektor lain. Jika kita melihat negara-negara berkembang, memang banyak yang memulai pertumbuhannya dengan mengandalkan manufaktur yang kuat," ungkap Patrick dalam acara Indonesia Pe-Vc Summit, di Jakarta, Kamis (16/1/2025).

Ia mencontohkan Belanda, negara kecil yang mampu menjadi salah satu eksportir makanan terbesar dunia. Menurutnya, Indonesia dengan wilayah yang jauh lebih luas memiliki potensi besar untuk menyaingi pencapaian tersebut.

Hal ini, lanjut Patick, sektor mineral dan sumber daya alam lainnya juga masih menyimpan peluang besar untuk dikembangkan. Ia juga memberi gambaran bagaimana Australia mampu mengembangkan potensi sumber daya alam lewat pengelolaan yang optimal.

"Jika kita melihat Indonesia, ada potensi besar di sektor agrikultur. Belanda, yang jauh lebih kecil dari kita, mampu menjadi salah satu eksportir makanan terbesar di dunia. Mengapa Indonesia tidak bisa melakukan hal yang sama?" kata Patrick, yang juga investor awal Gojek.

Meski demikian, ia tidak mengabaikan pentingnya sektor manufaktur. Menurutnya, Indonesia tetap perlu menjadi lebih kompetitif dalam bidang ini. Namun, strategi pengembangan ekonomi tidak bisa hanya fokus pada satu sektor.

Patrick menyoroti keunggulan Vietnam sebagai “China kecil” karena kedekatan geografis dan efisiensi logistiknya dengan China Selatan. 

Namun, ia mengingatkan bahwa keterbatasan kebijakan di Vietnam memberikan peluang bagi Indonesia untuk unggul dengan pendekatan berbeda.

"Memang benar, kita perlu memperkuat manufaktur dan menjadi lebih kompetitif di sektor tersebut. Namun, manufaktur bukanlah satu-satunya jalan. [..] Vietnam memiliki kebijakan yang terbatas, sementara Indonesia memiliki banyak sumber daya dan peluang. Oleh karena itu, kita harus memikirkan strategi yang berbeda," terangnya.

“Barang dari China Selatan dapat sampai ke Hanoi atau Ho Chi Minh hanya dalam waktu sehari atau dua hari. Namun, itu adalah situasi yang berbeda. Indonesia harus menemukan jalannya sendiri untuk memanfaatkan potensi yang kita miliki.” 

Sebagai catatan, pemerintah memang berambisi untuk merevitalisasi industri manufaktur Indonesia dengan mempercepat implementasinya melalui program Fourth Industrial Revolution (4IR) atau Revolusi Industri 4.0. 

Melalui Making Indonesia 4.0 yang diterbitkan  pada 2018 pemerintah menyebut 4IR sebagai manuver untuk mendukung pencapaian visi Indonesia menjadi salah satu dari 10 ekonomi terbesar di dunia, ditakar dari sisi produk domestik bruto (PDB)-nya.

Tidak hanya itu, dengan mimpi Revolusi Industri 4.0 ini, Indonesia kala itu berambisi untuk mewujudkan lebih banyak lapangan pekerjaan dan meraih kembali kejayaan sebagai eksportir netto, melalui pencapaian ekspor netto sebesar 10% dari PDB pada 2030.

Menyitir buku saku pengantar Making Indonesia 4.0, pemerintah menggadang-gadang 4IR dengan asa menjemput manufaktur yang berbasis macam-macam teknologi canggih; seperti kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), internet untuk segala atau internet of things  (IoT), wearables, robotika canggih, dan 3D printing.

(prc/wep)

No more pages