Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) melarang perusahaan asuransi membatalkan pengajuan klaim nasabah secara sepihak. Hal ini ditetapkan saat MK menetapkan putusan terhadap perkara nomor 83/PUU-XXII/2024.

Dalam putusan tersebut, majelis hakim konstitusi menetapkan Pasal 251 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) inkonstitusional bersyarat.

"Pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung berdasarkan putusan pengadilan”, kata Ketua MK Suhartoyo dikutip dari laman MK, Rabu (08/01/2024).

Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyatakan, Pasal 251 KUHD kerap menimbulkan beragam tafsir. Salah satunya, ketika pembatalan klaim tersebut berawal dari syarat yang disembunyikan tertanggung atau nasabah saat mendaftarkan diri; meski dengan itikad baik.

Menurut dia, Pasal 251 KUHD tidak secara tegas mengatur mekanisme syarat batal atau cara pembatalan dilakukan jika terdapat hal-hal yang disembunyikan dalam membuat perjanjian.

“Oleh karena itu, nampak dengan nyata tidak terdapatnya penegasan berkenaan dengan tata cara pembatalan akibat adanya hal-hal yang keliru atau disembunyikan dalam pemberitahuan oleh pihak tertanggung berkaitan dengan perjanjian yang dibuat oleh penanggung,” ujar Ridwan.

Padahal, menurut dia, sifat suatu perjanjian seharusnya memberikan posisi yang seimbang atas dasar prinsip-prinsip perjanjian. Sementara, addresat norma Pasal 251 KUHD hanya ditujukan untuk memberi peringatan kepada tertanggung tanpa memberikan keseimbangan hak dari pihak tertanggung atas perjanjian yang dibuat bersama dengan pihak penanggung. 
 
Selain itu, Pasal 251 KUHD merupakan produk hukum pemerintah kolonial Belanda yang telah tertinggal sehingga tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum saat ini. Artinya, Mahkamah memandang bahwa norma ketentuan tersebut tidak lagi relevan dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil.

Mahkamah menilai Pasal 251 KUHP justru kerap menjadi tempat berlindung penanggung dalam pembuatan perjanjian asuransi dan dari kewajiban tertanggung. Terlebih, perjanjian asuransi memiliki sifat khusus karena masih didasarkan keadaan atau peristiwa yang belum pasti terjadi.

“Seharusnya pihak penanggung [Asuransi] dapat mempertimbangkan untuk meyakini kesepakatan yang akan diambil dalam menindaklanjuti perjanjian yang akan dibuat bersama dengan pihak tertanggung, bukan menjadikan norma Pasal 251 KUHD sebagai instrumen untuk berlindung dari kewajiban tertanggung,” kata Ridwan.

(azr/frg)

No more pages