Bloomberg Technoz, Nusa Dua — Nilai transaksi bruto atau gross merchandize value (GMV) industri pembayaran digital di Asean pada 2025 diproyeksi menembus US$ 1 triliun dari estimasi US$ 200 miliar pada 2022. Sayangnya, prevalensi transaksi uang tunai -khususnya di Indonesia- juga masih terbilang tinggi.
Managing Director, Chief Compliance Officer Gopay Budi Gandasoebrata mengatakan penggunaan transaksi tunai di Indonesia mencapai 100% pada 2010. Namun, 10 tahun kemudian, kecenderungan tersebut turun menjadi 96%, mengutip laporan McKinsey Global Payments Report.
Budi membandingkan dengan Malaysia, di mana penggunaan transaksi tunai pada 2010 mencapai 93% dan terus turun menjadi 72% dalam satu dekade setelahnya atau pada 2020.
“Transaksi tunai masih sangat prevalence (umum). Artinya, sebenarnya masih ada potensi yang sangat besar bagi industri pembayaran digital untuk terus tumbuh. Di Asia Tenggara, GMV industri pembayaran digital diproyeksi menembus US$ 1 triliun pada 2025,” ujarnya di sela seminar tingkat tinggi bertajuk From Asean to the world : Payment System in Digital Era, yang merupakan rangkaian dari pertemuan Asean Finance Ministers and Central Bank Governors (AFMGM) di Nusa Dua, Selasa (28/3/2023).
Berdasarkan potensi yang ada, Budi mengelaborasi bahwa nilai industri pembayaran digital di Indonesia pada 2025 diproyeksi menembus US$ 421 miliar, naik dari posisi 2022 senilai US$ 256 miliar.
Nilai tersebut merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara Asean lain. Nilai industri pembayaran digital di Singapura pada 2025, misalnya, diestimasikan mencapai US$ 199 miliar, naik dari US$ 197 miliar pada 2022.
“Potensi pasar Indonesia memang sangat besar, tetapi masih banyak pekerjaan rumah dalam menaikkan keberterimaan layanan pembayaran digital. Misalnya, bagaimana menjangkau perdesaan dan bagaimana memigrasikan kebiasaan orang-orang dari transaksi tunai ke digital,” ujar Budi.
Menurutnya, jika prevalensi transaksi nontunai di Indonesia makin tinggi, akan ada makin banyak data digital yang dapat dimanfaatkan untuk membangun sistem penilaian kredit dan pencairan pinjaman dengan lebih mudah.
“Saya berharap dalam beberapa tahun ke depan, orang-orang akan lebih toleran meninggalkan dompetnya di rumah ketimbang ponselnya [untuk bertransaksi],” ujarnya.
(wdh/evs)