
Salim Maula Djuha adalah pakar kehutanan dan lingkungan dengan pengalaman lebih dari 15 tahun dalam pengelolaan lahan berkelanjutan, inventarisasi hutan, penilaian karbon, pemetaan tanah, studi HCV/HCS, dan analisis geospasial. Beliau telah terlibat dalam proyek kepatuhan FSC, ISPO, NDPE, serta pemetaan topografis di seluruh Indonesia. Salim telah mendukung perusahaan konsultan, LSM, dan klien sektor swasta dengan memberikan masukan strategis dan teknis dalam kehutanan industri dan masyarakat. Saat ini, beliau bekerja sebagai konsultan independen yang berfokus pada pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. |
Dalam era modern yang diwarnai oleh ketidakpastian ekonomi dan ketimpangan sosial, jasa lingkungan atau ecosystem services muncul sebagai salah satu pendekatan paling strategis untuk menanggulangi berbagai bentuk disrupsi ekonomi. Konsep ini tidak hanya menawarkan solusi berbasis alam terhadap permasalahan lingkungan, tetapi juga membuka peluang baru dalam sistem ekonomi global yang semakin bergeser dari sektor konvensional menuju ekonomi hijau dan berkelanjutan.
Jasa lingkungan mencakup berbagai manfaat yang diberikan oleh alam, seperti penyimpanan karbon, perlindungan keanekaragaman hayati, penyediaan air bersih, hingga fungsi penyerapan banjir dan pengendalian iklim. Seiring dengan meningkatnya kesadaran terhadap krisis iklim dan pentingnya keberlanjutan, kapitalisasi pasar terhadap jasa lingkungan pun mengalami peningkatan signifikan.

Di tingkat global, nilai pasar jasa lingkungan—terutama yang berkaitan dengan karbon offset, perdagangan karbon, dan konservasi berbasis hasil—telah mencapai ratusan miliar dolar per tahun. Sementara itu, di Indonesia, meskipun masih dalam tahap pengembangan, potensi pasar jasa lingkungan sangat besar, terutama dari sektor hutan tropis, gambut, dan mangrove.
Banyak perusahaan swasta telah masuk ke sektor ini, mulai dari lembaga konservasi, perusahaan energi yang melakukan offset emisi, perusahaan kehutanan berbasis konservasi, hingga perusahaan rintisan (startup) yang mengembangkan teknologi pelacakan karbon. Perusahaan multinasional dan investor mulai melihat jasa lingkungan sebagai portofolio investasi strategis yang tidak hanya menguntungkan dari sisi ekonomi, tetapi juga berdampak positif bagi reputasi dan kepatuhan regulasi lingkungan.
Hal ini tampak dari data pertumbuhan serta proyeksi kredit karbon yang diperkirakan terus meningkat dari tahun ke tahun. Seperti yang ditampilkan pada data berikut ini.

Pasar Global
1. Pasar Kredit Karbon Global:
-
- Pada tahun 2024, nilai pasar kredit karbon global diperkirakan mencapai USD 669,37 miliar, dengan proyeksi pertumbuhan menjadi sekitar USD 933,23 miliar pada tahun 2025 dan USD 16,38 triliun pada tahun 2034, mencerminkan CAGR sebesar 37,68% Precedence Research.
2. Volume Perdagangan Karbon:
- Nilai perdagangan pasar karbon global mencapai rekor €881 miliar (USD 948,75 miliar) pada tahun 2023, meningkat 2% dibandingkan tahun sebelumnya Reuters.
3. Pendapatan dari Penetapan Harga Karbon:
- Pendapatan global dari penetapan harga karbon mencapai rekor USD 104 miliar pada tahun 2023, dengan lebih dari separuhnya digunakan untuk mendanai program iklim dan alam World Bank.
4. Pasar Karbon Sukarela (Voluntary Carbon Market):
- Pasar karbon sukarela mengalami pertumbuhan pesat, dengan pendanaan mencapai USD 16,3 miliar pada tahun 2024, didorong oleh permintaan perusahaan untuk kredit karbon berkualitas tinggi

Meskipun pasar karbon Indonesia masih dalam tahap awal dibandingkan dengan pasar global, langkah-langkah seperti peluncuran IDXCarbon dan keterlibatan dalam perdagangan karbon internasional menunjukkan komitmen Indonesia dalam mengembangkan pasar ini.
Dengan potensi besar dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan, serta dukungan regulasi yang semakin kuat, Indonesia berpeluang menjadi pemain kunci dalam pasar karbon global di masa depan.
Namun demikian, pertanyaan mendasar muncul: seberapa besar bisnis jasa lingkungan ini mampu menjawab tantangan mendesak dunia, seperti kebutuhan pangan manusia yang terus meningkat? Berdasarkan data FAO yang dirilis tahun 2023. Produksi pangan global saat ini sejatinya mampu mencukupi kebutuhan seluruh populasi dunia, bahkan untuk populasi lebih dari 10 miliar jiwa.
Produksi serealia, buah-buahan, sayuran, dan daging mengalami pertumbuhan signifikan. Namun, distribusi pangan yang tidak merata, pemborosan pangan, kemiskinan, serta alokasi sumber daya untuk keperluan non-pangan seperti biofuel menyebabkan jutaan orang tetap berada dalam kondisi kelaparan dan malnutrisi.

Di sinilah jasa lingkungan dapat memainkan peran strategis. Dalam skala lokal, praktik bisnis jasa lingkungan dapat memberi solusi alternatif dan kongkret yang menghubungkan konservasi dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Sebagai contoh, program pembayaran jasa lingkungan (Payment for Ecosystem Services/PES) yang diterapkan di daerah tangkapan air dapat mendukung keberlanjutan pertanian lokal, memperbaiki hasil panen, dan meningkatkan pendapatan petani.
Dalam konteks ketahanan pangan, jasa lingkungan seperti konservasi tanah, pengelolaan air, dan perlindungan hutan sangat penting untuk memastikan produktivitas lahan tetap tinggi tanpa merusak ekosistem. Dengan begitu maka model bisnis ini dapat menjadi stimulus terwujudnya desentralisasi kebutuhan pangan yang diharapkan dapat menumbuhkan kemandirian pangan di masing-masing wilayah sehingga dapat menutup gap atas pemenuhan kebutuhan pangan di wilayah lokal.
Namun, adopsi model bisnis jasa lingkungan secara luas masih menghadapi berbagai tantangan struktural. Salah satunya adalah lemahnya pengakuan terhadap hak tenurial lahan masyarakat lokal, kurangnya kepercayaan terhadap mekanisme pasar karbon, serta minimnya integrasi antara program jasa lingkungan dengan rencana pembangunan nasional dan lokal.
Pelibatan masyarakat lokal secara inklusif, transparansi data, serta dukungan kebijakan yang kuat menjadi prasyarat agar model ini benar-benar bisa menggantikan sistem ekonomi konvensional yang eksploitatif.
Sebagai jalan panjang perlawanan terhadap disrupsi ekonomi global dan ketimpangan pangan dunia, ekosistem services bukan sekadar solusi teknokratis. Ia adalah jembatan antara ekologi dan ekonomi, antara kelestarian dan kesejahteraan.
Investasi pada jasa lingkungan adalah investasi pada masa depan umat manusia—dimana bumi tidak hanya dilihat sebagai sumber daya, tetapi sebagai sistem kehidupan yang harus dijaga bersama.
Dengan demikian, menjadikan jasa lingkungan sebagai tulang punggung ekonomi hijau merupakan langkah strategis untuk menghadapi tantangan zaman: dari krisis iklim hingga kelaparan global. Transformasi ini membutuhkan kolaborasi lintas sektor dan komitmen kolektif, namun hasilnya akan menjadi warisan paling bernilai bagi generasi mendatang.
(smd)