Kesepakatan US$600 M: Trump, Riyadh & Diplomasi Baru AI
Pandu Sastrowardoyo
14 May 2025 15:21

| Pandu Wisaksono Sastrowardoyo adalah peneliti AI sejak 2008 dan Direktur di Blocksphere.id, perusahaan konsultan teknologi yang telah menangani puluhan proyek strategis di bidang blockchain, AI, dan transformasi digital untuk sektor publik dan swasta. Ia juga merupakan pendiri DeBio.Network, Myriad.Social, dan RealityChain.io. Pandu aktif mendorong adopsi teknologi berbasis kedaulatan data dan menjadi anggota Dewan Etik Asosiasi Blockchain Indonesia. |
Keajaiban berkilau seperti Riyadh dan Abu Dhabi bukanlah hasil dari yang mengaku-ngaku sebagai pembangun bangsa, kaum neokonservatif, atau LSM liberal
Donald Trump, 13 Mei 2025, U.S - Saudi Investment Forum, Riyadh
Pidatonya berlangsung selama 51 menit, tapi dampaknya bisa membentuk arah dunia selama puluhan tahun. Dalam forum investasi antara Amerika Serikat dan Arab Saudi di Riyadh, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kesepakatan ekonomi senilai $600 miliar dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman. Di saat yang sama, ia menyampaikan kritik tajam terhadap dua dekade kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah.
Di hadapan Putra Mahkota, Elon Musk dan para pemimpin bisnis dan teknologi dari seluruh dunia, Trump tidak hanya menyampaikan diplomasi biasa. Ia bisa dibilang sudah mengatur ulang logika hubungan internasional.
Bukan lagi bicara hanya soal minyak, melain mengenai pemrograman ulang dari tatanan global.
Trump menyampaikan pesan yang jarang diutarakan secara terbuka oleh seorang kepala negara: bahwa dunia tidak lagi bisa dikuasai lewat perang atau intervensi, melainkan melalui kolaborasi ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan teknologi yang mendukung kedaulatan nasional.
Yang membuat pidato ini lebih penting lagi: semua ini disampaikan di saat semua negara tengah berlomba menuju Artificial General Intelligence (AGI)—kecerdasan buatan umum—yang diyakini banyak ahli sebagai gerbang menuju Artificial Superintelligence (ASI), tonggak besar terakhir dalam evolusi teknologi manusia.
Dari Konflik ke Kolaborasi
Trump menekankan bahwa kemajuan pesat di negara-negara Teluk bukanlah hasil intervensi asing, melainkan buah dari usaha internal: masyarakat yang membangun negaranya sendiri, pemerintah yang memprioritaskan visi nasional, dan nilai-nilai budaya yang tetap dijaga.
“Lahirnya Timur Tengah modern berasal dari mereka yang telah tinggal di sini sepanjang hidup mereka… mengejar visi mereka sendiri, dan menentukan nasib mereka sendiri.”
Pesannya jelas: pendekatan dominasi luar negeri oleh negara adidaya (seperti jaman-jaman sebelumnya dilakukan Amerika) sudah tidak relevan. Masa depan dibuat oleh partnership yang setara.
Diplomasi Ekonomi Menggantikan Campur Tangan Militer
Trump juga menyoroti langkah-langkah nyata yang ia ambil: mencabut sanksi terhadap Syria, menawarkan pilihan damai bagi Iran, dan menyebut kesuksesan mediasi damai antara India dan Pakistan. Semua ini bukan sekadar retorika politik—melainkan pergeseran nyata dari kebijakan luar negeri berbasis militer ke arah diplomasi ekonomi.
“Pada akhirnya, para pembangun bangsa justru menghancurkan lebih banyak negara daripada yang mereka bangun.”
Apa yang dulu menjadi kebijakan standar—perang, intervensi, dan perubahan rezim—sekarang dianggap tidak efektif dan bahkan merugikan. Trump mengisyaratkan bahwa pendekatan baru diperlukan: yang berbasis investasi, bukan invasi.
Trump mendapatkan standing ovation ketika mengumumkan pencabutan sanksi terhadap Syria, dan mengucapkan bahwa Putra Mahkota Muhammad Salman-lah yang memintanya untuk melakukan hal ini.
$600 Miliar untuk Masa Depan Tanpa Perang
Nilai kesepakatan yang diumumkan sangat besar: $600 miliar yang mencakup sektor pertahanan, pembangunan infrastruktur, dan kerja sama ekonomi strategis. Namun yang lebih penting dari jumlahnya adalah sinyal yang dikirim: bahwa kekuatan global masa depan tidak lagi ditentukan oleh senjata, melainkan oleh stabilitas, teknologi, dan jejaring ekonomi.
Di tengah perlombaan mengembangkan AGI, negara-negara dengan ekosistem digital yang kuat akan lebih siap dalam menghadapi perubahan besar ini. Negara-negara yang mampu menawarkan kestabilan akan menjadi pusat gravitasi dunia baru.
Arab Saudi Menjadi Kutub Inovasi Baru
Negara-negara Teluk kini sedang mempercepat pembangunan kota pintar, sistem AI nasional, dan platform data yang berdaulat. Mereka tidak lagi sekadar menjadi konsumen teknologi global—mereka sedang membentuk arsitektur masa depan.
Trump, dalam pidatonya, tampaknya menyadari hal itu. Ia tidak menawarkan dominasi, melainkan kemitraan.
“Perdamaian, kemakmuran, dan kemajuan datang bukan karena menolak warisan budaya, tapi karena merangkulnya.”
Ini adalah bentuk baru dari pengaruh global—berbasis pada pengakuan terhadap identitas lokal dan kemampuan untuk berinovasi dari dalam. Nasionalisme, bukan globalisme yang dipaksakan.
Pernyataan Tak Terduga dari Panglima Tertinggi
Mungkin pernyataan paling mengejutkan datang bukan dari kebijakan luar negeri atau angka ekonomi, melainkan dari sisi pribadi:
“Saya tidak suka perang.”
Sederhana, tegas, dan kuat—terutama karena datang dari Presiden Amerika Serikat yang masih menjabat sebagai Panglima Tertinggi Militer. Dalam konteks sejarah AS, ini adalah penyimpangan besar dari norma.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa bahkan negara adidaya sekalipun kini menyadari: kekuatan sejati tidak lagi terletak pada kekuatan militer, tetapi pada kemampuan membangun ekosistem global yang saling terhubung dan berkelanjutan.
Indonesia Tidak Boleh Tertinggal
Untuk Indonesia, ini adalah momen penting yang tidak boleh disia-siakan. Sebagai negara keempat terbesar di dunia dan salah satu ekonomi digital yang paling cepat berkembang, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam era pasca-AGI.
Namun peluang itu hanya akan berarti jika kita mampu bergerak cepat. Kekosongan posisi Duta Besar RI untuk AS yang berlangsung selama lebih dari satu tahun adalah sinyal bahwa diplomasi kita masih harus menyelesaikan beberapa PR.
Dunia kini sedang bergerak cepat menuju AGI, dan Indonesia harus hadir untuk tidak tertinggal.
DISCLAIMER
Opini yang disampaikan dalam artikel ini sepenuhnya merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan sikap, kebijakan, atau pandangan resmi dari Bloomberg Technoz. Kami tidak bertanggung jawab atas keakuratan, kelengkapan, atau validitas informasi yang disajikan dalam opini ini.
Setiap pembaca diharapkan untuk melakukan verifikasi dan mempertimbangkan berbagai sumber sebelum mengambil kesimpulan atau tindakan berdasarkan opini yang disampaikan. Jika terdapat keberatan atau klarifikasi terkait isi opini ini, silakan hubungi redaksi melalui contact@bloombergtechnoz.com
(pan)






















