Lebih lanjut, Syafruddin mengungkapkan kondisi tersebut sebagai bentuk cerminan adanya kehati-hatian dunia usaha terhadap prospek perekonomian ke depan yang belum sepenuhnya meyakinkan.
Sehingga, kondisi ini secara otomatis melemahkan permintaan kredit karena banyak perusahaan memilih menahan penarikan fasilitas kredit yang sebenarnya sudah disetujui perbankan. Dunia usaha, kata dia, masih menunggu sinyal yang lebih kuat dan pasar benar-benar siap menyerap tambahan produksi.
"Pelaku usaha melihat biaya dana, risiko permintaan, volatilitas harga input, dan ketidakpastian aturan sebagai kombinasi yang berbahaya jika ekspansi dilakukan terlalu agresif," ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Head of Macroeconomic & Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman yang mengatakan bahwa tingginya undisbursed loan mencerminkan lemahnya permintaan kredit akibat sikap wait and see dunia usaha.
"Selain itu, adanya keterbatasan penyaluran kredit yang sesuai dengan profil risiko perbankan sehingga bank cenderung bersikap berhati-hati," ujar Faisal.
Meski demikian, ia menilai dunia usaha sebenarnya sudah mulai melihat peluang ekspansi, namun masih menunggu momentum yang tepat. Sebab, "Hal ini juga terkait dengan beberapa aturan dan regulasi yang cenderung berubah cepat di Indonesia sehingga semakin menahan dunia usaha untuk melakukan ekspansi dengan cepat."
Pada kesempatan sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan permintaan kredit terindikasi belum kuat dipengaruhi oleh perilaku menunggu dan mengamati atau wait and see dari pelaku usaha, optimalisasi pembiayaan internal oleh korporasi, serta penurunan suku bunga kredit yang masih lambat.
"Peran kredit perbankan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi perlu terus ditingkatkan," papar Perry dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Rabu (17/12/2025).
Berdasarkan data BI, kinerja kredit perbankan pada November 2025 tumbuh 7,74% secara tahunan (year-on-year/yoy), hanya naik tipis dibanding pertumbuhan pada bulan sebelumnya, yakni 7,36% (yoy).
Menurut Perry, minat penyaluran kredit perbankan umumnya masih baik, tercermin pada persyaratan pemberian kredit (lending requirement) yang semakin longgar, kecuali pada segmen kredit konsumsi dan Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro (UMKM) akibat peningkatan risiko kredit pada kedua segmen tersebut.
"Kondisi ini memengaruhi pertumbuhan kredit UMKM November 2025 yang terkontraksi sebesar 0,64% (yoy)," kata Perry.
Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit 2025 berada pada batas bawah kisaran 8-11% (yoy) dan akan meningkat pada 2026.
Sementara dari sisi penawaran, kapasitas pembiayaan bank tetap memadai ditopang oleh rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang meningkat menjadi sebesar 29,67% dan DPK yang tumbuh sebesar 12,03% (yoy) pada November 2025.
Perkembangan ini turut didorong oleh ekspansi likuiditas moneter dan pelonggaran Kebijakan Insentif Makroprudensial (KLM) BI, serta ekspansi keuangan pemerintah, termasuk penempatan dana pemerintah pada beberapa bank besar.
(lav)




























