Rata-rata biaya kunjungan ISPA mencapai Rp987.000, turun 13% dibanding tahun lalu. Namun bila pasien harus dirawat inap selama dua hingga tiga hari, biaya melonjak menjadi Rp17 juta per kasus. Tingginya prevalensi ini didorong tiga faktor utama: tingginya angka perokok, tingginya paparan alergen, serta polusi udara seperti debu, asap kendaraan, dan emisi pabrik.
Bella menilai perusahaan memiliki peran signifikan dalam membantu pencegahan. Program yang bisa diberikan antara lain: skrining preventif, program berhenti merokok, vaksin flu dan pneumonia, dukungan pengobatan termasuk fasilitas inhaler untuk penderita asma, menjaga kualitas udara di ruang kerja dengan filter atau purifier, hingga pemberlakuan kerja fleksibel untuk mencegah penularan.
Pada kategori infeksi yang menduduki peringkat teratas rawat inap, Bella menguraikan bahwa infeksi usus umumnya membutuhkan 3–4 hari perawatan dengan biaya rata-rata Rp14 juta. Sementara DBD memerlukan 4–5 hari perawatan dengan biaya rata-rata Rp20 juta, sedikit turun sekitar 5% dibanding tahun sebelumnya.
Faktor pendorong tingginya kasus infeksi ini juga khas Indonesia. Iklim tropis menjadi habitat ideal bagi Aedes aegypti, sehingga DBD mudah berkembang. Selain itu, penanganan makanan dan sanitasi yang belum merata meningkatkan risiko infeksi usus. Faktor sosial-ekonomi seperti kepadatan penduduk dan urbanisasi makin memperbesar kerentanan masyarakat terhadap kedua penyakit tersebut.
Bella menegaskan bahwa pola penyakit ini harus menjadi perhatian perusahaan dalam merancang strategi kesehatan karyawan. Penanganan preventif dan kuratif yang tepat, lanjutnya, akan membantu mengurangi biaya kesehatan sekaligus menjaga produktivitas tenaga kerja di Indonesia.
(dec/spt)





























