Logo Bloomberg Technoz

Melansir Laporan dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), angka pekerja Tidak Penuh yang dikategorikan sebagai pekerja informal, termasuk pekerja Paruh Waktu dan setengah pengangguran, mengalami peningkatan dari 46,19 juta menjadi 47,89 juta orang secara tahunan. 

“Banyak pekerja informal maupun pekerja platform bekerja dalam kondisi yang tidak stabil, di mana jam kerja panjang dan upah rendah, serta minimnya dukungan jaringan sosial,” papar INDEF dalam Laporan Proyeksi Ekonomi Indonesia 2026: Menata Ulang Arah Ekonomi Berkeadilan, November 2025. 

Pada saat yang sama, jumlah penduduk yang Tidak Bekerja dan Tidak Mencari Kerja karena putus asa meningkat dari 1,68 juta (2024) menjadi 1,87 juta orang (2025), naik 11% dalam setahun. Kondisi ini jadi paradoks, menargetkan pertumbuhan ambisius tapi kapasitas tenaga kerja untuk mendukung pertumbuhan itu malah menyusut. 

Secara proporsi, jumlah penduduk ini didominasi oleh penduduk lulusan SD atau tidak tamat SD sebesar 50,07%, lulusan SMP 20,21%, SMA 17,29%, SMK 8,09%, S1 2,42%, Diploma 1,57%, dan S2 0,35%. 

“Lonjakan belasan persen dalam satu tahun menunjukkan bahwa ada segmen penduduk yang bergeser dari posisi ‘mencari kerja’ menjadi ‘menyerah’, yang berarti kehilangan kepercayaan terhadap peluang pasar kerja yang tersedia,” kata laporan Labor Market Brief yang dirilis oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) pada Selasa, (11/11/2025). 

Kenaikan angka 11% bukan cuma angka statistik, tapi punya dampak besar terhadap target pertumbuhan ekonomi yang ingi n dicapai. Setidaknya ada tiga hal yang bisa disebabkan oleh angka 11% ini. 

Pertama, dengan adanya 11% jumlah penduduk yang Tidak Bekerja dan Tidak Mencari Kerja ini artinya Indonesia kehilangan tenaga kerja potensial, bahkan sebelum mereka diberi kesempatan. Kedua, adanya kegagalan sistemik yang membuat transisi 'pendidikan-ke-pekerjaan' menjadi jauh panggang dari api. Ketiga, adanya mismatch atau ketidakcocokan keterampilan dan lambatnya penciptaan lapangan kerja formal, yang membuat sebagian penduduk mundur dari arena kompetisi.

Masalah mismatch sering terjadi di Indonesia. Kualifikasi pendidikan, keterampilan, dan minat tidak sesuai dengan lapangan pekerjaan yang ada. Sementara, International Labour Organization (ILO) menyebut kondisi struktural ini juga terjadi lantaran adanya ketidaksesuaian tingkat pendidikan formal yang dimiliki pekerja tidak sesuai dengan tingkat pendidikan yang secara umum dibutuhkan untuk pekerjaannya, alias overeducated.

Menurut data yang dilansir INDEF dari ILO dan BPS, ada 22,36% pekerja yang tergolong overeducated di Indonesia. Overeducated ini bukan hanya mencerminkan kondisi mubazirnya potensi keterampilan tenaga kerja produktif, tapi juga membuat mereka menerima upah lebih rendah dari seharusnya. 

Jomponya Mesin Pertumbuhan 

Selama ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh tiga sektor: konsumsi rumah tangga, bonus demografi, dan stabilnya produktivitas sektor manufaktur dan jasa. 

Sayangnya, dua di antara mesin ini justru menunjukkan perlambatan. Di sektor manufaktur, Indonesia sedang mengalami deindustrialisasi dini, atau premature deindustrialization. Sehingga berdampak juga pada bonus demografi yang terancam tidak optimal, lantaran deindustrialisasi membuat daya serap tenaga kerja di sektor manufaktur menjadi lemah. 

Menurut data BPS, kontribusi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal III-2015 adalah 19,15%. Jika menilik ke belakang, pada tahun 1996 kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB pernah mencapai 25,6%, dan pada tahun 2001 angkanya sempat menyentuh 29,6%. Sampai dengan tahun 2008, porsi industri manufaktur terhadap PDB masih 27,8%.

Kontribusi industri manufaktur terhadap PDB mulai turun di tahun 2010 menjadi 22%. Lalu, badai pandemi di tahun 2020 kembali memangkas kontribusi manufaktur terhadap PDB nasional menjadi 19,8%. Sampai saat ini, kontribusi sektor ini terhadap PDB nasional terus menyusut. Bahkan tahun ini, masyarakat disuguhkan dengan kabar tutupnya raksasa tekstil, Sritex, yang telah beroperasi selama 58 tahun. Dengan tutupnya Sritex muncul sebanyak  10.000 pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) massal pabrik itu. 

Padahal, di beberapa negara industri baru Asia, seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong, peranan sektor industri ini cenderung stabil dan berada di atas 20%. Korea Selatan mencatatkan peningkatan kontribusi sektor manufakturnya terhadap PDB sebesar 26%, bahkan Vietnam yang awalnya 17% pada 2010 sudah mencapai 25% pada 2022. 

Manufaktur merupakan mesin pertumbuhan yang paling mumpuni. Selain padat karya, bagi negara yang punya populasi angkatan kerja dengan tingkat pendidikan menengah-bawah (SD-SMP-SMA) seperti Indonesia, sektor ini tidak membutuhkan keahlian spesifik yang perlu ditempuh lewat jenjang pendidikan dan waktu panjang. 

Hanya dengan training atau pelatihan teknis, populasi ini dapat langsung terlibat menjadi angkatan kerja produktif yang dapat berkontribusi sebagai bahan bakar pertumbuhan ekonomi. 

Sebagai ilustrasi bagaimana kontribusi tenaga kerja dapat menjadi bahan bakar bagi mesin pertumbuhan: jika angkatan kerja produktif memiliki pekerjaan yang bagus lalu penghasilannya meningkat, mereka akan lebih banyak berbelanja. Sebab, konsumsi rumah tangga masih jadi penggerak utama ekonomi nasional. 

Selain itu, lebih banyak orang bekerja dan produktif, artinya industri dapat menghasilkan lebih banyak produk dan barang yang dapat dijual di dalam negeri, maupun luar negeri secara ekspor. Tentu saja, lebih banyak angkatan kerja yang aktif bekerja, artinya penerimaan pajak juga bisa meningkat untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, yang akan kembali memperkuat basis pertumbuhan ekonomi. 

Dengan melebarnya jumlah pekerja informal dan rendahnya tingkat partisipasi kerja, menjadi cermin adanya krisis pekerjaan layak dan terjadi kekosongan kebijakan. Dengan kondisi ini, pemerintah sebenarnya sedang mengabaikan krisis bahan bakar mesin pertumbuhan ekonomi yang sedang terjadi. Jika kondisi ini dibiarkan terus berlanjut, mungkin target pertumbuhan yang dipatok akan sulit tercapai. 

(dsp/aji)

No more pages