Larangan ini lalu dipertegas dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51/2015 serta Permendag Nomor 18 Tahun 2021 jo. Permendag Nomor 40 Tahun 2022 yang secara spesifik memasukan pakaian bekas dalam Pos Tarif/HS 63.05 sebagai barang dilarang impor dengan pertimbangan untuk melindungi kepentingan umum, keamanan, keselamatan, kesehatan dan lingkungan, serta industri dalam negeri.
Artinya, secara substansi, pakaian bekas impor memang tidak boleh diperdagangkan secara bebas di Indonesia karena telah ditetapkan secara sah sebagai barang larangan dan pembatasan (lartas).
“Enggak mungkin lah dipajakin barang ilegal. Statusnya itu kan barang ilegal, enggak mungkin mau dikasih kuota, mau dikasih pajak. Ya kan ada peraturan clear, jelas,” ujarnya.
Temmy juga turut berkomentar soal APPBI yang ingin memberlakukan kembali pajak dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 132/PMK.010/2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor.
“Ya silakan saja, kan itu hak setiap warga negara. Melakukan judicial review kan silakan aja, dengan argumen dan kajian yang pas. Dia nanti kan berjuang di MA, kalau undang-undang di Permendag mesti ke MA. Tapi kan itu kan hak mereka. Yang pasti dari kami sih tetap dari pemerintah [dilarang],” jelas dia.
Sebelumnya, APPBI mengusulkan pakaian bekas impor ilegal atau thrifting ilegal ke depannya bisa dikenakan pajak di rentang 7,5% hingga 10%. Hal ini merespons ucapan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang tengah mengupayakan penambahan pajak bagi negara pada tahun depan.
“Karena beberapa statement dari Pak Purbaya terakhir di rapat Komisi XI, Pak Purbaya mengupayakan di tahun depan ini ada pajak untuk negara dan menciptakan lapangan kerja,” kata Ketua Umum APPBI WR Rahasdikin dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI, Selasa (2/12/2025).
“Kita masukkan pajak impor pakaian bekas. Nah ini kami mengusulkan di angka 7,5% sampai 10%.”
Menurutnya, APPBI saat ini tengah mengkaji impor pakaian bekas tersebut dan mempelajari Undang-undang yang berlaku. Di sisi lain, alasan pakaian bekas impor ilegal perlu dikenakan pajak karena tertera Harmonized System Code atau HS code.
“HS code-nya, bahannya apa, jenisnya apa mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki ada. Karena yang ada saat ini pajak impor normal sama pajak impor barang mewah. Mudah-mudahan pakaian bekas bisa dimasukkan impor pakaian bekas ada pajaknya,” tuturnya.
APPBI juga meminta agar Komisi VI dapat mendengarkan aspirasi tersebut dengan mengelompokkan barang impor pakaian bekas ilegal menjadi barang larangan terbatas (lartas) impor yang dikecualikan.
Adapun kategori pengelompokan barang lartas yakni barang tidak kena lartas; barang kena lartas; barang terkena lartas namun dikecualikan; dan barang bebas lartas.
“Nah mudah-mudahan apakah kami ini bisa masuk di poin nomor tiga barang terkena lartas namun dikecualikan dengan kesanggupan pajak yang kami sampaikan tadi,” jelas dia.
(ain)































