"Infeksi saluran pernafasan atas ini paling cepat meningkat terutama dalam 48-72 jam pertama. Ini akibat kepadatan di tenda maupun ventilasi buruk, suhu lembab dan dingin, juga polusi asap dapur, darurat misalnya," jelasnya.
Kemudian, penyakit pencernaan, diare, dan gastroenteritis atau peradangan pada usus dan lambung. Hal ini terjadi karena air bersih yang terkontaminasi, kerusakan sanitasi dan juga kebersihan tangan yang sulit dipertahankan.
Lalu, ada penyakit kulit dermatitis karena terjadi kontak akibat air kotor. Infeksi kulit sekunder seperti impetigo yang ditandai dengan luka merah gatal dan berisi cairan, serta scabies.
"Leptospirosis, jadi risiko meningkat di awalnya dengan populasi tikus yang tinggi. Meski belum dominan, Aceh atau Sumatra ini juga memiliki faktor lingkungan yang memungkinkan penularan leptospirosis ini," sebut dia.
Selain penyakit berbasis air, penyakit lainnya seperti Hepatitis A, typhoid, hingga cacingan juga membayangi korban banjir. Campak hingga polio pun menyintai dengan daerah yang cakupan imunisasi rendah.
"Penyakit non-infeksi yang umumnya, berupa luka, tetanus. Ketika luka infeksi menjadi tetanus ketika tidak divaksinasi, asma, hipertensi, diabetes yang tidak terkontrol akibat putus obat, dan juga penyakit lainnya. Apalagi kalau harus rutin minum obat dan akses obatnya ini terganggu," pungkas dia.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Dr. Suharyanto melaporkan total korban meninggal dunia akibat bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat mencapai 442 jiwa per 30 November 2025.
Sementara, 402 jiwa masih dinyatakan hilang; 646 jiwa terluka; 290,7 ribu orang mengungsi. Secara keseluruhan, bencana ini berdampak terhadap 1,1 juta jiwa per 30 November 2025.

































