Kemudian, penguatan industri teknologi mobil, baterai listrik, petrokimia, dan semikonduktor. Selain itu, industri padat karya berupa garmen, sepatu olahraga, produk perkebunan, pertanian, dan perikanan.
"Kebijakan industrial perlu disertai kebijakan struktural," tegas Perry.
Dia memaparkan kebijakan struktural dibutuhkan untuk melakukan perbaikan iklim investasi, kecepatan birokrasi, konektivitas infrastruktur, serta investasi dan perdagangan. Hal ini bisa dilakukan melalui Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai pusat-pusat pertumbuhan.
Menurut Perry, stabilitas ekonomi sangat penting bagi negara manapun untuk tumbuh tinggi dan berdaya tahan.
"Stabilitas yang dinamis: harga-harga terkendali, rupiah stabil, ekonomi bergerak cepat, dan rakyat mendapat manfaat. Itulah Sumitronomics," kata dia.
Maka itu, sinergi fiskal-moneter semakin diperkuat dalam menjaga stabilitas. Hal itu dilakukan melalui berbagai stimulus untuk mendorong permintaan. "Penerbitan SBN (surat berharga negara) pemerintah. Pembelian SBN Bank Indonesia di pasar sekunder. Juga pengelolaan DHE SDA (devisa hasil ekspor sumber daya alam)."
Sehari sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyinggung kebijakan moneter hingga saat ini masih belum cukup optimal dalam membantu pemulihan ekonomi nasional yang mengalami pelemahan selama delapan bulan pertama tahun ini.
Meski mengalami tanda-tanda pemulihan ekonomi menjelang akhir tahun, Purbaya mengeklaim capaian tersebut masih ditopang dari sisi kebijakan fiskal pemerintah, yang salah satunya lewat penambahan likuiditas ke perbankan.
Itu pun masih belum optimal. Karena kan fiskal, ya fiskal. Masih ada mesin ekonomi kita yang belum membantu dari sisi moneter. Ini injeksi positif masih dari sisi fiskal aja," ujar Purbaya dalam rapat bersama Komisi XI DPR di Jakarta, Kamis (27/11/2025).
Purbaya mengatakan, penempatan likuiditas pemerintah di Himbara pada awal September lalu senilai Rp200 triliun memang cukup membantu menggerakkan aktivitas ekonomi lewat pertumbuhan uang beredar dari semula yang hampir 0,3% pada Agustus menjadi 13,2% pada September, dan tumbuh 7,8% (yoy) pada Oktober.
Tetapi, pada Oktober, uang beredar memang masih mengalami pertumbuhan sebesar 7,7%, tetapi kembali tumbuh melambat dibandingkan bulan sebelumnya maupun di periode yang sama tahun sebelumnya (yoy).
Hanya saja, Purbaya menggarisbawahi BI belakangan masih terus melakukan operasi moneter lewat pengurangan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Tetapi, Purbaya menilai langkah itu belum maksimal.
"Kalau boleh bantu [tambah] sedikit saja, [akan[ lebih bagus lagi [perekonomian kita]," tutur Purbaya. "Kan yang situ di bawah Komisi XI juga, coba deh diketok-ketok sedikit biar kita bisa jalan bersama."
Belakangan, BI sendiri melaporkan telah mengurangi kepemilikan SRBI sebagai bagian dari operasi moneter dalam memperkuat likuiditas perekonomian dalam negeri.
Per 17 November 2025, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan posisi instrumen SRBI mengalami penurunan menjadi sebesar Rp699,30 triliun dibandingkan posisi pada awal tahun ini yang masih sebesar Rp916,97 triliun.
(lav)






























