Tetapi, dengan tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea, cukai, dan/atau pungutan negara lainnya, selama barang itu belum dikeluarkan untuk tujuan impor, ekspor, atau pun re-ekspor.
Dalam kawasan tersebut, barang bisa disimpan (warehousing), diolah, dirakit, digabungkan, atau diproses lebih lanjut — dengan hasil utama ditujukan untuk ekspor.
Dengan kata lain, kawasan ini merupakan 'zona khusus' di mana regulasi pabean dan fiskal dilonggarkan agar industri yang berbasis ekspor bisa lebih kompetitif — terutama dalam hal biaya, prosedur, dan efisiensi logistik.
Jumlah Kawasan
Berdasarkan data DJBC Kemenkeu, per Agustus 2025, ada sebanyak 1.512 perusahaan yang aktif menjalankan skema kawasan berikat, dengan klaim penyerapan tenaga kerja mencapai sekitar 1,83 juta orang.
Jumlah tersebut bukan berarti total jumlah atau zona kawasan, melainkan akumulasi perusahaan yang aktif dalam skema kawasan tersebut. Ini karena kawasan berikat dapat berbentuk kawasan industri, tetapi juga bisa hanya kawasan operasi perusahaan.
Seluruh kawasan tersebut memproduksi berbagai komoditas unggulan dalam negeri seperti tekstil dan produk tekstil (TPT); elektronik; alas kaki; otomotif dan suku cadangnya; hingga produk olahan agro.
DJBC mencatat setidaknya kontribusi wilayah kawasan berikat ini terhadap ekspor nasional dilaporkan sebesar sekitar 27% dari total ekspor nasional atau setara sekitar Rp1.114 triliun.
"Dari sisi perdagangan internasional, kontribusi kawasan berikat terhadap ekspor nasional tidak bisa diabaikan, yakni sebesar 27,94%. Nilai ekspor yang berasal dari kawasan berikat mencapai Rp1.114,64 triliun, yang terdiri atas berbagai komoditas unggulan seperti tekstil, elektronik, alas kaki, hingga produk otomotif," tulis DJBC dalam siaran resminya, Agustus lalu.
Dasar Hukum
Awalnya kawasan berikat diatur lewat Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1986 tentang Kawasan Berikat (Bonded Zone). Aturan ini mendefinisikan konsep dan syarat suatu wilayah untuk menjadi KB.
Lalu, ada perubahan h melalui Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1990 yang membuka kemungkinan memberi status KB kepada kawasan industri tertentu, baik secara keseluruhan maupun sebagian kawasan industri.
Untuk aspek perpajakan dan fasilitas fiskal, penggunaan kawasan berikat diatur berdasarkan ketentuan di bawah undang-undang perpajakan serta keputusan/PMK dari kementerian keuangan. Misalnya, fasilitas PPN/PPnBM dan kemudahan perpajakan untuk perusahaan di kawasan berikat.
Saat ini, PMK 181/2018 tersebut mengatur pengeluaran hasil produksi dari kawasan berikat dilakukan dalam jumlah paling banyak sebesar 50% yang berasal dari penjumlahan realisasi tahun sebelumnya.
Itu meliputi total nilai ekspor, nilai penjualan hasil produksi yang ditujukan kepada kawasan berikat lainnya, nilai produksi ke kawasan bebas dan nilai penjualan hasil produksi ke kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan pemerintah.
Kini, aturan itu akan direvisi dengan memangkas batasan pengeluaran hasil produksi yang didistribusikan ke pasar domestik atau tempat lain dalam daerah pabean (TLDDP) dari semula 50% menjadi 25%.
(lav)

































