Logo Bloomberg Technoz

BI, tambah Henderson, juga harus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Sejak RDG Oktober, rupiah melemah 0,9% terhadap dolar Amerika Serikat (AS), menjadi yang terlemah di level Asia Tenggara.

Untuk menjaga stabilitas rupiah, maka arus modal keluar (capital outflow) perlu diredam. Di pasar obligasi, investor asing masih dalam posisi menjual Surat Berharga Negara (SBN).

Per 14 November, nilai kepemilikan asing di SBN tercatat Rp 807,07 triliun. Turun dibandingkan posisi awal bulan ini yang sebesar Rp 878,21 triliun.

“Perbedaan imbal hasil (yield) dengan obligasi pemerintah AS relatif rendah, sehingga butuh intervensi untuk membuat rupiah tetap stabil. Ini yang kemudian membuat cadangan devisa menurun, meski tetap di level yang memadai,” tutur Henderson.

Sumber: Bloomberg

Ketidakpastian Tinggi

Pandangan serupa juga datang dari Faisal Rachman, Ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI). Faisal memperkirakan BI masih akan mempertahankan suku bunga acuan di 4,75% bulan ini.

“Kami melihat BI akan cenderung menahan BI Rate di RDG November ini, di tengah ketidakpastian global yang masih cukup tinggi sehingga memberikan dampak risk off,” tegasnya.

Meski demikian, Faisal melihat ruang penurunan BI Rate lebih lanjut masih terbuka. Bisa saja BI menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (BPS) menjadi 4,5% pada RDG pamungkas 2025.

“Namun ini harus melihat perkembangan inflasi dan nilai tukar rupiah juga serta aliran capital inflow. Juga bagaimana stance The Fed (Federal Reserve, bank sentral AS) ke depan terkait ruang pemotongan Federal Funds Rate,” sambung Faisal.

Ruang pemangkasan BI Rate tahun depan, menurut Faisal, masih terbuka meski tidak selebar tahun ini. Pada 2026, Faisal memproyeksi BI Rate hanya bisa turun 50 bps.

Pemangkasan BI Rate, demikian Faisal, tidak bisa terlalu besar karena MH Thamrin juga harus memperhatikan stabilitas perekonomian nasional. Kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bisa menimbulkan konsekuensi pelebaran defisit transaksi berjalan (current account) serta defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Kebijakan pro-growth bisa memperlebar twin deficit. Jadi perlu untuk mengantisipasi ini,” tegasnya. 

Selain itu, imbuh Faisal, dampak kebijakan tarif terhadap inflasi di AS belum sepenuhnya termateralisasi. Jadi, ada kemungkinan The Fed tidak akan menurunkan suku bunga terlalu agresif. 

“Untuk menjaga gap atau interest rate differential tetap positif, maka ruang penurunan BI Rate menjadi terbatas. Apalagi pemotongan BI Rate sudah sangat agresif tahun ini jika dibandingkan The Fed,” menurut Faisal.

(aji)

No more pages