Tahun lalu, Rwanda mendapatkan sumber wabah pertama penyakit yang sangat ganas ini dari penambangan yang dilakukan di sebuah gua yang dihuni oleh kelelawar buah.
Setelah menular ke manusia, penyakit yang seringkali parah dan bahkan fatal ini menyebar di antara manusia melalui kontak langsung dengan cairan tubuh atau melalui bahan yang terkontaminasi.
Gejala awal meliputi demam tinggi, sakit kepala akut, dan nyeri otot, serta banyak pasien mengalami pendarahan hebat dalam seminggu setelah gejala muncul. Belum ada obat yang disetujui, meskipun berbagai terapi telah digunakan dalam kondisi perawatan darurat yang penuh kasih.
Gilead Sciences Inc. memasok remdesivir ke Rwanda, obat antivirus yang telah diuji coba selama wabah Ebola 2018 di Republik Demokratik Kongo.
Otoritas kesehatan di Etiopia dan Sudan Selatan berupaya mencegah penularan lintas batas. Infrastruktur layanan kesehatan di kedua negara sedang terbebani, dengan perang saudara selama tujuh tahun di Sudan Selatan yang memperparah masalah tersebut.
WHO mengucurkan US$300.000 dari dana daruratnya pada hari Kamis untuk mendukung Etiopia. WHO juga mengerahkan tim tanggap darurat awal dan mengirimkan pasokan medis, termasuk alat pelindung diri untuk tenaga kesehatan dan tenda isolasi. Akses dini ke perawatan suportif, seperti rehidrasi dengan cairan oral atau intravena, meningkatkan angka harapan hidup.
(bbn)






























