Komdigi sebelumnya mengaku tengah mengkaji kebijakan influencer wajib memiliki sertifikasi, mengadopsi aturan di China dimana profesi ini baru mendapat izin membuat konten dengan topik tertentu usai ada 'cap' khusus.
Menurut Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemkomdigi RI, Bonifasius Wahyu Pudjianto, pihaknya masih mengkaji dan membahas di internal mereka. Bonifasius mengeklaim pemerintah kerap memantau kebijakan negara-negara lain untuk melindungi ekosistem digital.
Misalnya, urai Bonifasius, penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik Dalam Pelindungan Anak (PP Tunas) adalah hasil pembelajaran dari Australia, yang memiliki kebijakan penggunaan medsos kepada anak di bawah umur.
"Karena informasi ini masih baru, kami masih kaji dulu memang dan ini menarik.Ya kami ada WA group (grup WhatsApp) gitu, kami lagi bahas. Gimana ini isu ini? Ada negara udah mengeluarkan kebijakan baru nih," kata dia kepada awak media di Kantor Kemkomdigi RI, Jumat (31/10/2025). "Nah, kami masih kaji ya," imbuh Bonifasius.
Lantaran kebijakan itu masih terbilang baru, Kemkomdigi RI masih melakukan diskusi dan analisis secara internal. Pihaknya pun memerlukan masukan dari masyarakat terkait apakah kebijakan sertifikasi untuk influencer tersebut.
"Kita perlu menjaga tapi jangan sampai terlalu mengekang misalnya gitu. Kompetensi memang diperlukan, bukan apa-apa, jangan sampai muncul tadi, justru mereka yang meng-generate konten yang salah," ujar Bonifasius.
"Kita harus kaji bersama ya, kita belum putuskan. Kita harus mendengar. Kalau perlu [diterapkan], oke. Tapi gimana? Seperti apa? Kemudian, kan pasti ada leveling grade-nya," tutur Bonifasius. "Saat ini belum diputuskan apa-apa."
(far/wep)

































