Logo Bloomberg Technoz

Selain memanfaatkan pendanaan dari pungutan tersebut, Akhmad juga menyarankan penyedia BBM yang belum menggunakan E10 diwajibkan menyetor dana untuk pengembangan bioetanol.

Dia menjelaskan, dalam mekanisme ini perusahaan migas yang masih menjual bensin fosil tanpa campuran bioetanol diwajibkan membayar kontribusi ke negara sebagai kompensasi atas ketertinggalan pemenuhan target campuran.

“Potensi sumber lain dana dari ekspor feedstock jika ada. Meskipun saat ini bioetanol bukan komoditas ekspor besar, atau dari pajak pada industri gula,” ungkap dia.

Akhmad menjelaskan, dana yang dikumpulkan tersebut nantinya digunakan untuk menutup selisih harga produksi bioetanol dengan bensin, membiayai pembangunan infrastruktur bioetanol, hingga membantu petani mengamankan pasokan bahan baku.

Subsidi Pemerintah

Jika skema tersebut tidak memungkinkan, maka Akhmad memandang pemerintah perlu memberikan subsidi atau insentif harga untuk membiayai selisih biaya produksi bioetanol dengan bensin fosil.

“Perlu ada mekanisme yang memastikan harga jual E10 ke konsumen tidak terlalu melonjak, agar diterima publik,” tegas dia.

Lebih lanjut, Akhmad memprediksi harga BBM E10 akan lebih mahal dibandingkan bensin RON 92 yakni Pertamax, sebab biaya produksi E10 lebih tinggi sekitar 5–15% setiap liternya dibandingkan bensin fosil.

Dia menjelaskan, berdasarkan studi studi International Energy Agency (IEA) dan International Renewable Energy Agency (IRENA), biaya produksi etanol konvensional dari jagung di Amerika Serikat pada 2012 mencapai sekitar US$0,9—US$1,1 per liter ekuivalen bensin, sementara di Brasil dari tebu lebih murah yakni US$0,7—US$0,9 per liter.

Di Indonesia, lanjut dia, harga acuan tertinggi bioetanol untuk bahan bakar atau market ceiling pada Agustus 2020 tercatat sekitar Rp14.779 per liter atau lebih mahal dibanding harga Pertamax pada periode yang sama. 

“Jadi dengan kondisi sekarang saya memperkirakan bahwa untuk skema E10 di Indonesia, harga jual ke masyarakat akan sedikit lebih mahal dibandingkan dengan bensin RON 92 fosil, kecuali ada mekanisme subsidi atau insentif untuk menutup selisih. Selisih mungkin di kisaran +5-15% biaya per liter dalam tahap awal,” kata Akhmad.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menargetkan mandatori E10 dapat berlaku pada 2027.

Menurut Bahlil, mandatori E10 mesti dipercepat agar Indonesia bisa segera lepas dari ketergantungan impor bensin. Saat ini, lanjutnya, pemerintah tengah mempersiapkan lini waktu yang memungkinkan untuk implementasi mandatori bioetanol 10% tersebut.

“Sekarang lagi dilakukan kajian; apakah mandatori ini dilakukan 2027 atau 2028 atau tahun berapa. Menurut saya, [hal] yang kita lagi desain, kelihatannya paling lama 2027 ini sudah bisa berjalan, karena E10 adalah bagian dari strategi pemerintah untuk mengurangi impor bensin,” tutur Bahlil ditemui di kompleks Istana Kepresidenan, Senin (20/10/2025) malam.

Terlebih, menurut Bahlil, selama ini Indonesia mengimpor 27 juta kiloliter (kl) bensin per tahun. 

Bagaimanapun, Bahlil tidak menampik Indonesia masih memiliki beberapa pekerjaan rumah sebelum mandatori bioetanol E10 siap diberlakukan. Salah satu yang terbesar adalah menyiapkan fasilitas produksinya.

Bahlil menginginkan agar fabrikasi E10 sepenuhnya dilakukan di dalam negeri. Dengan demikian, Indonesia masih membutuhkan investasi pabrik yang bisa mengolah singkong dan tebu menjadi etanol untuk bahan baku bioetanol.

“Pabrik etanol ini dari singkong, dari tebu, dan ini mampu menciptakan lapangan pekerjaan karena petani-petani kita ke depan akan kita dorong untuk melakukan ini,” terangnya.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi sebelumnya menyebut mandatori E10 kemungkinan bisa diimplementasikan pada 2028, dengan penerapan terbatas untuk sektor non-public service obligation (PSO).

“Dua—tiga tahun, sekitar 2028. Non-PSO dulu, jadi bukan [tahun depan],” kata Eniya di kantor Kementerian ESDM, Selasa (14/10/2025).

Dia menjabarkan kebutuhan bioetanol untuk menjalankan mandatori bioetanol E10 untuk sektor non-PSO akan mencapai 1,2 juta kl.

Adapun, pada tahun depan pemerintah akan menggencarkan penggunaan E5 terlebih dahulu. Apalagi, saat ini penerapan bensin dengan campuran etanol 5% masih terbatas, yang salah satunya adalah produk Pertamina dengan merek Pertamax Green 95.

Adapun, dalam peta jalan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN), pemerintah sebelumnya menargetkan peningkatan produksi bioetanol yang berasal dari tanaman tebu paling sedikit sebesar 1,2 juta kl pada 2030.

(azr/wdh)

No more pages