Logo Bloomberg Technoz

“Sumber daya boleh besar, tetapi kalau susah orang berbisnis di dalam [negeri] dan itu akan menjadi kendala, misalkan peraturan yang berubah-ubah tanpa ada kepastian, itu mereka juga akan mikir,” kata Moshe ketika dihubungi, Rabu (15/10/2025).

Logo Shell Plc./Bloomberg-Christopher Pike

Moshe mendorong pemerintah untuk meningkatkan iklim investasi di sektor migas dengan memberikan kepastian regulasi kepada investor, dia menilai regulasi yang ada di Indonesia bisa berubah sewaktu-waktu tanpa adanya sosialisasi yang dilakukan.

Bahkan, lanjut Moshe, terdapat sejumlah regulasi yang justru berpotensi menghambat bisnis para pelaku usaha migas dan aturan tersebut pada akhirnya baru dicopot ketika pelaku usaha melayangkan protes ke pemerintah.

“Saya lihat sekarang ini kementerian ini lebih istilahnya keluar regulasinya dahulu, baru bicara sama stakeholders, jangan kayak gitu,” ucap Moshe.

“[Contohnya] kebijakan-kebijakan yang katanya mau stop impor dan lain sebagainya, dahulu sempat migas juga sempat masuk ke kebijakan DHE [devisa hasil ekspor], akhirnya di-cancel,” tegas dia.

Waktu Tepat

Lebih lanjut, Moshe memandang waktu paling tepat bagi perusahaan migas raksasa seperti Shell untuk berinvestasi di Indonesia adalah dalam waktu secepat-cepatnya. Dengan kata lain, dia menilai tidak terdapat waktu yang salah untuk perusahaan asing berinvestasi di hulu migas Indonesia.

Terlebih, kata Moshe, Indonesia memiliki potensi cadangan migas yang melimpah dan masih banyak yang belum tersentuh. Meski begitu, dia menegaskan Indonesia tetap akan bersaing dengan negara yang memiliki cadangan migas besar lainnya dalam menggaet investor asing.

“Jadi kita bersaing. Apa momennya tepat? Dari dahulu juga tepat. Harga gas kemarin pada saat yang awal-awal itu luar biasa tingginya kan harga gas itu,” tegas Moshe.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan kepastian WK migas yang diminati Shell untuk dilakukan eksplorasi akan diumumkan pada November 2025.

Pengumuman akan dilakukan setelah SKK Migas melakukan pertemuan lanjutan dengan raksasa migas Inggris tersebut.

Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Heru Setyadi menjelaskan tim teknis Shell saat ini masih mengevaluasi sejumlah WK migas yang potensial di Indonesia. Akan tetapi, dia enggan mengungkapkan WK mana saja yang tengah dipertimbangkan oleh Shell.

Hasil dari evaluasi itu, menurut dia akan diumumkan setelah SKK Migas dan Shell Plc melakukan pertemuan lanjutan pada bulan depan.

“Bulan November SKK Migas berencana melakukan engagement lanjutan dari pertemuan sebelumnya,” kata Heru kepada Bloomberg Technoz, Senin (13/10/2025).

“Kami akan melakukan update setelah pertemuan November nanti, terkait dengan specific area of interest dari Shell,” tegas Heru.

Di Indonesia, saat ini Shell lebih banyak berkecimpung di lini hilir migas. Akan tetapi, rekam jejaknya di sektor hulu migas nasional cukup panjang.

Shell pernah terlibat di industri hulu migas Indonesia sebagai pemegang hak partisipasi atau participating interest (PI) proyek Abadi Masela; ladang gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) raksasa di wilayah Tanimbar, Maluku.

Di Blok Masela, Shell bersama Inpex Corporation (Inpex) sebelumnya setuju untuk membangun fasilitas LNG dengan kapasitas tahunan sebesar 9,5 juta ton dalam kontrak pemulihan biaya senilai sekitar US$20 miliar.

Akan tetapi, pada 2020, Shell memutuskan untuk keluar dari proyek tersebut dengan menjual 35% hak partisipasinya seharga US$2 miliar.

Upaya Shell untuk melakukan divestasi dari Blok Masela sejak itu berlarut-larut, sehingga menciptakan ketidakpastian seputar kelanjutan pengembangan Lapangan Abadi yang menyimpan 360 miliar meter kubik gas itu.

Di lain sisi, sentimen pasar migas global masih didominasi pandangan bearish, kendati terdapat perbedaan sikap soal seberapa suram prospek harga minyak ke depan, menurut Citigroup Inc., yang merangkum pandangan para klien di Amerika Utara dan Eropa.

“Keyakinan berbeda-beda terkait dengan seberapa dalam potensi penurunan harga,” tulis analis termasuk Francesco Martoccia dalam catatan risetnya, seperti dikutip dari Bloomberg News.

“Sebagian klien meragukan bahwa harga dasar US$60 per barel untuk minyak mentah Brent cukup untuk memicu reaksi keseimbangan antara penawaran dan permintaan di pasar global, yang secara umum diperkirakan akan menghadapi surplus.”

Harga minyak mengalami penurunan pada Agustus dan September. WTI telah merosot sekitar 18% year to date (ytd).

Penurunan ini didorong oleh meningkatnya kekhawatiran bahwa pasokan global akan melebihi permintaan. Banyak bank Wall Street memperkirakan harga minyak berjangka akan kembali ke kisaran US$50 per barel.

Pelemahan tersebut terutama dipicu oleh ekspektasi bahwa pasokan akan melampaui permintaan, seiring OPEC+ mulai melonggarkan pembatasan produksi dan produsen lain turut meningkatkan produksi.

(azr/wdh)

No more pages