Sejumlah pasal juga mencantumkan sanksi bagi pemberi kerja yang tak mendaftarkan pekerjanya ke program Tapera. Mereka berpotensi mendapatkan sanksi administratif mulai dari pembekuan hingga pencabutan izin usaha.
"Kewajiban sebagai peserta Tapera tak sesuai dengan hakikat tabungan yang bersifat sukarela, atau justru telah mengalami pergeseran makna dengan menjadikannya sebagai kewajiban yang bersifat memaksa," tulis MK.
Mahkamah juga mengatakan, pemerintah sebenarnya punya cara lain untuk memastikan ketersediaan hunian layak bagi masyarakat. Pemerintah bisa memastikan ketersediaan dana dan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan rumah. Hal ini bisa ditempuh melalui sejumlah sistem pembiayaan dalam bentuk pengerahan dan pemupukan dana; seperti dana masyarakat; dana tabungan perumahan termasuk hasil investasi atas kelebihan likuiditas, dan atau dana lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Majelis Hakim MK pun memberikan waktu kepada pemerintah untuk memperbaiki norma-norma pada UU Tapera dalam kurun dua tahun -- agar tak terjadi kekosongan hukum. Pemerintah diminta menata ulang pengaturan tentang pendanaan dan sistem pembiayaan perumahan yang tak memberatkan pekerja, pemberi kerja, serta pekerja mandiri.
"Pembentuk undang-undang [DPR dan Pemerintah] perlu memperhitungkan secara cermat ihwal pendanaan dan sistem pembiayaan perumahan dari pengaturan yang sifatnya mewajibkan menjadi pilihan bagi pemberi kerja, pekerja, termasuk pekerja mandiri," tulis MK.
"Sesuai dengan prinsip keadilan sosial, perlindungan kelompok rentan, serta kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan dan hak-hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam UUD 1945."
(dov/frg)






























