Selain itu, penambahan kapasitas listrik sampah juga terjadi untuk sistem Banten. Rencanannya, kapasitas akan dikerek menjadi 80 MW, yang awalnya dipatok 40 MW.
PLN bakal mengakomodasi PLTSa sebanyak 40 MW pada 2028 di Banten, selanjutnya kapasitas 40 MW lainnya akan diakomodasi pada 2030.
Sementara itu, PLN turut mengerek kapasitas setrum dari pembangkit sampah di Provinsi Jawa Barat mencapai 90 MW, yang sebelumnya dipatok 49 MW pada RUPTL lama.
Adapun, alokasi sebanyak 90 MW itu bakal masuk ke dalam sistem PLN pada 2028.
Pemain Besar
Sebelum rencana Prabowo meneken beleid anyar untuk mengakomodasi investasi lebih besar pada program waste to energy, sejumlah pengembang listrik swasta telah lebih dahulu meneken perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan PLN untuk pemanfaatan sampah menjadi listrik.
Hanya saja, sebagian besar PJBL itu tidak bisa jalan lantaran keberatan pemerintah daerah ihwal besaran tipping fee atau biaya pengelolaan sampah yang mesti ditanggung anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Sebagian pengembang berasal dari perusahaan domestik seperti Indoplas Karya Energi, anak usaha Maharaksa Biru Energi dan PT Energia Prima Nusantara (EPN), afiliasi Grup Astra (ASII). Sejumlah perusahaan domestik itu menjalin kerja sama dengan mitra asal China dan Jepang.
Berdasarkan data PLN, baru terdapat 2 PLTSa yang telah beroperasi di antaranya PLTSa di tempat pembuangan akhir (TPA) Benowo dan TPA Putri Cempo dengan kapasitas setrum masing-masing 9 MW dan 5 MW.
Kedua PLTSa itu berlokasi di Surabaya dengan durasi kontrak selama 20 tahun. PLTSa Benowo dikembangkan oleh PT Sumber Organik sementara PLTSa Putri Cempo dikembangkan oleh PT Solo Citra Metro Plasma Power.
Sementara itu, PLN masih menunggu kontruksi PLTSa Kertapati yang berada di Palembang dengan kapasitas setrum mencapai 17,7 MW. PLTSa itu dikembangkan oleh PT Indo Green Power, dengan kontraktor EPC China National Electric Engineering Company.
Selanjutnya, PLN mencatat sejumlah pengembangan PLTSa di Jakarta, Tangerang dan Bandung yang masih mangkrak lantaran persoalan tipping fee dengan pemerintah daerah.
Misalkan, PLTSa Rorotan di Jakarta Barat dengan kapasitas setrum mencapai 35,52 MW. Proyek pembangkit sampah ini dimenangkan oleh kerja sama operasi (KSO) PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) bersama dengan anak usaha Maharaksa Biru Energi (OASA), Indoplas Karya Energi.
Selain itu, PLTSa Sunter yang dikerjakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta PT Jakpro turut mangkrak dengan kapasitas setrum 35 MW. Padahal, PJBL sudah diteken Jakpro dengan PLN sejak 16 Oktober 2019 lalu.
Di sisi lain, lahan yang awalnya dialokasikan untuk PLTSa telah digunakan sebagai lahan parkir stadion Jakarta International Stadium (JIS).
Sementara itu, PLTSa Cakung dikerjakan KSO GCL Intelligent Energy (Suzohu) Co Ltd bersama dengan PT Sarana Sakti Pratamadaya. Pembangkit sampah ini ditargetkan memiliki kapasitas setrum mencapai 34 MW.
Adapun, PLTSa Pesanggrahan di Jakarta Selatan dikerjakan oleh KSO China Tianying Inc (CNTY) dan AKA Sinergi Group dengan kapasitas listrik sebesar 29,7 MW.
Sementara itu, PLTSa Legok Nangka dikerjakan PT Jabar Environmental Solutions, kongsi usaha antara Sumitomo Corporation, Hitachi Zosen Corporation dan afiliasi Grup Astra lewat anak usaha PT United Tractor (UNTR), PT Energia Prima Nusantara (EPN).
Mayoritas saham Jabar Environmental Solutions dipegang Sumitomo dengan kepemilikan 60%, EPN sebanyak 30% dan sisanya dipegang Hitachi.
Pembangkit sampah yang berada di Bandung itu memiliki kapasitas listrik 40,79 MW. Belakangan PLN berencana mengerek kapasitas listrik PLTSa itu ke level 90 MW.
(naw/wdh)
































