Logo Bloomberg Technoz

Di sisi lain, pemerintah pun memiliki alternatif bagi para pengusaha  tidak memiliki anggaran untuk membayar royalti musik, alternatif yang dapat dipilih adalah menggunakan musik bebas lisensi (royalty-free) atau musik dengan lisensi Creative Commons yang memperbolehkan penggunaan komersial, memutar musik ciptaan sendiri, menggunakan suara alam/ambience, atau bekerja sama langsung dengan musisi independen yang bersedia memberikan izin tanpa biaya.

Rian mengatakan aturan tersebut justru semakin menyulitkan. Rian menilai bahwa tujuan dari memutar lagu, supaya orang yang berkunjung bisa santai sambil menikmati musik, bahkan bisa menjadikan itu hiburan diri sendiri.

“Kalau pakai musik yang belum di kenal, mereka pasti nggal nyaman. Mau pakai  suara alam atau ambience? Kita coffee shop bukan tempat massage / refleksi. Kalau pakai musik independen, nanti lama-lama ujung-ujungnya disuruh bayar juga,” keluh Rian.

“Jangan apa-apa duit, kita langganan di Spotify, atau platform musik, kan juga bayar, kalau nggak boleh diputar lagunya, nggak perlu ada Spotify, YouTube, atau platform musik,” tambahnya.

Rian pun memiliki harapan kepada pemerintah agar bisa memikirkan ulang kembali aturan tersebut termasuk pembayaran royalti musik.

“Kita bayar membership resmi, kecualii kalau mereka membajak lagu nya. Pembajakan itu lah yang harus diurusin,”katanya.

“Di sisi lain, kita putar lagu, itu juga kan membantu promosi lagu-lagu dari musisi-musisi. Harusnya yang bantu promoin juga dibayar,” tambahnya.

Di sisi lain, menurut pendapat pengunjung bernama Christian mengaku musik adalah hiburan bagi dirinya ketika berada di kafe. Tentunya ini tak hanya berimbas kepada pengusaha saja bila harus membayar royalti, tapi juga berdampak pada kenyamanan pengunjung.

“Soalnya kalau ke kafe sama pacar terus nggak ada lagu sunyi banget nggak ada kehidupan,” ujar Tian kepada Bloomberg Technoz.

Beda halnya dengan pengunjung bernama Ufa. Dia mengaku tak keberatan apabila kafe yang dikunjunginya tak memutar lagu. Menurut dia, sebenarkan tergantung kondisi dan tujuan seseorang untuk pergi ke kafe.

“Kalau lagi Work From Café (WFC) gitu keknya nggak ada musik nggak masalah. Toh kita bisa dengerin musik kita sendiri pake headset, Gak ada musik malah enak, gak berisik,” katanya.

“Tapi sesuai sikon juga, kadang ada momen yang lebih asik ada musiknya, kadan lebih baik tanpa musik, hehe,”tambahnya.

Kebijakan ini bila merujuk pada peraturan Pemerintah (PP) No.56 Tahun 2021 soal Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan atau Musik Pasal 3, disebutkan bahwa setiap orang dapat menggunakan lagu atau musik secara komersial dalam bentuk layanan publik dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, maupun pemilik hak terkait melalui LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional).

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, Agung Damarsasongko Agung menjelaskan, terdapat ketentuan tarif yang berlaku berdasarkan jenis usaha dan skema penggunaan. 

Pelaku usaha dapat mendaftarkan usahanya melalui sistem digital LMKN dan membayar royalti sesuai klasifikasi usaha dan luas ruang pemutaran musik. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan Korea Selatan, sistem serupa sudah diberlakukan sejak lama.

“Namun tujuan Indonesia bukan untuk menambah pemasukan negara, melainkan memberikan kepastian hukum serta memastikan bahwa pelaku industri kreatif mendapatkan hak ekonominya secara adil,” jelas Agung dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (29/07).

Royalti ini akan diambil berdasarkan jenis usahanya. Berikut rinciannya:

1.⁠ ⁠Restoran nonwaralaba
Agung mencontohkan, restoran non-waralaba dengan 50 kursi dikenai tarif royalti sebesar Rp120.000 per kursi per tahun, sehingga totalnya menjadi Rp6.000.000 per tahun. Untuk tempat usaha yang dihitung berdasarkan luas area, tarif yang digunakan adalah sekitar Rp 720 per meter persegi per bulan.

2.⁠ ⁠Usaha Kuliner Bermusik (Restoran dan Kafe)
Berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Tahun 2016. Tarif royalti untuk bidang usaha jasa kuliner bermusik Restoran dan Kafe ditentukan tiap kursi per tahun, dengan ketentuan bahwa Royalti Pencipta sebesar Rp60.000 per kursi per tahun dan Royalti Hak Terkait sebesar Rp60.000 per kursi per tahun.

3.⁠ ⁠Pub, Bar, dan Bistro
Sedangkan untuk bidang usaha jasa kuliner bermusik Pub, Bar dan Bistro ditentukan tiap meter persegi (per m2) per tahun, dengan ketentuan bahwa Royalti Pencipta sebesar Rp180. 000- per meter persegi (per m2) per tahun dan Royalti Hak Terkait sebesar Rp180.000 – per meter persegi (per m2) per tahun;.

4.⁠ ⁠Diskotek dan Kelab Malam
Kemudian tarif royalti untuk bidang usaha Diskotek dan Klab Malam ditentukan tiap meter persegi (per m2) per tahun, dengan ketentuan bahwa Royalti Pencipta sebesar Rp250.000 per meter persegi (per m2) per tahun dan Royalti Hak Terkait sebesat Rp180.000 per meter persergi (per m2) per tahun.

(dec/spt)

No more pages