Proyeksi tersebut dilakukan lantaran indikator ekonomi dalam negeri terbilang masih lesu, seperti kurangnya belanja infrastruktur hingga konsumsi rumah tangga.
"Kami memperkirakan pertumbuhan PDB [produk domestik bruto] riil Indonesia sedikit di bawah 5% tahun ini karena permintaan domestik menunjukkan tanda-tanda melemah di awal tahun," tulis laporan tersebut.
Pasalnya, lanjut laporan itu, belanja infrastruktur memiliki pengganda fiskal yang tinggi bagi pertumbuhan, dan sekaligus "membantu meringankan kendala pasokan dan hambatan infrastruktur."
Rata-rata pendapatan dalam negeri juga lebih rendah dibandingkan sebagian besar negara berperingkat investasi lainnya, alih-alih diproyeksikan akan tetap meningkat lebih cepat dari sejumlah program prioritas seperti makan bergizi gratis (MBG) dan program tiga juta rumah.
Namun, mereka juga turut memperhitungkan keberadaan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang akan melakukan sebagian besar pengeluaran infrastruktur, bersama dengan sejumlah proyek kemitraan dengan swasta.
"Danantara akan mengisi sebagian kekurangan belanja infrastruktur. Meskipun demikian, masih mungkin ada dampak terhadap pertumbuhan, terutama untuk tahun 2025," lanjut laporan itu.
"Program-program sosial utama yang dijalankan pemerintah, termasuk program makanan bergizi gratis dan tiga juta rumah, diharapkan mulai memperbaiki kondisi ekonomi yang mendasarinya."
S&P memperkirakan PDB per kapita Indonesia tahun ini bisa mencapai US$5.000, naik dari US$4.900 pada 2024, yang turut memperhitungkan depresiasi rupiah tahun ini dari level Rp16.162/US$ menjadi Rp16.300/US$.
Mereka juga mempertahankan peringkat kredit alias Sovereign Credit Rating (SCR) Indonesia pada level BBB, atau lebih tinggi satu tingkat di atas level terendah investment grade dengan outlook stabil.
(ell)





























