Logo Bloomberg Technoz

Capaian inflasi Mei sebesar 4% itu dengan kata lain inflasi domestik saat ini sudah terjangkar di target BI yaitu di kisaran 2%-4%. Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam pernyataannya hari ini di Gedung DPR-RI, sebelum pengumuman data inflasi oleh BPS, menyebut inflasi IHK diperkirakan baru akan melandai di kisaran target BI di kisaran 3,3% pada akhir 2023. 

Pernyataan Perry tersebut sedikit berbeda dibandingkan pernyataan terakhir pada konferensi pers 25 Mei lalu. Ketika itu otoritas moneter memperkirakan inflasi IHK sudah akan kembali ke sasaran target atau di bawah 4% pada kuartal III-2023, di mana inflasi inti akan tetap berada di kisaran target 3,0±1% hingga akhir 2023.

Pernyataan terakhir Perry tersebut memberi sinyal pada pasar bahwa pada akhir tahun, inflasi IHK baru akan terkerek stabil di 3,3%, sesuai target bank sentral. Ini juga bisa dibaca sebagai indikasi bahwa BI belum akan terburu berbalik arah memangkas bunga acuan sejurus dengan masih rapuhnya nilai tukar rupiah sejauh ini karena sentimen arah bunga acuan global.

Kendati capaian inflasi Mei di level 4%, persis di batas atas target bank sentral, BI dinilai belum akan mendorong bank sentral berbalik arah menurunkan bunga acuan meski semakin banyak gejala perlambatan ekonomi domestik. 

"Kami perkirakan BI masih akan berhati-hati sebelum memutuskan pengguntingan bunga acuan terutama ketika kini ada fokus baru perihal apakah Federal Reserve akan menaikkan bunga acuan lagi ke depan," kata Brian Tan, ekonom Barclays Pls seperti dilansir oleh Bloomberg News, Senin (5/6/2023).

Dalam pernyataan setelah konferensi pers pengumuman bunga acuan 25 Mei lalu, Perry menegaskan secara gamblang bahwa BI akan lebih fokus menjaga rupiah sembari menaruh keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi domestik masih mampu bertahan. 

“Yang menjadi isu adalah ketidakpastian di pasar keuangan global yang masih berlanjut. Sehingga fokusnya adalah stabilisasi rupiah supaya imported inflation tetap rendah dan dampak rambatan dari ketidakpastian pasar keuangan bisa dimitigasi,” jelas Perry Warjiyo, Gubernur BI ketika mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur, Kamis (25/5/2023).

Pasar keuangan global saat ini memang masih dibayangi ketidakpastian arah puncak bunga acuan Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat (AS). BI melihat dengan perkembangan inflasi AS sejauh ini, kemungkinan Fed berbalik menggunting bunga pada akhir tahun sebagaimana ekspektasi pasar, belum akan terjadi.

Malahan mengacu pada data pasar tenaga kerja terakhir yang dirilis akhir pekan lalu, pasar saat ini mulai berekspektasi bunga Fed akan kembali naik pada Juli nanti untuk menjinakkan inflasi yang masih keras kepala di negeri itu. Tentu itu akan menjadi risiko bagi nilai tukar rupiah yang bisa tertekan sentimen pasar global. Dari faktor tersebut, alasan BI memilih mempertahankan bunga lebih lama menjadi kebijakan yang tepat.

Sebagai gambaran, selama Mei lalu, nilai tukar rupiah melemah 2,15% menghadapi dolar AS dan membuat posisi penguatan rupiah sepanjang 2023 tergerus tinggal 3,7%. Tekanan yang dihadapi oleh nilai tukar rupiah selama Mei lalu tidak bisa dilepaskan dari reposisi pemodal asing di pasar keuangan domestik. Untuk pertama kalinya sejak Februari, pemodal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencatat posisi jual bersih bulanan senilai US$16,4 juta selama Mei lalu. 

Perlambatan Ekonomi

Akan tetapi, keputusan BI yang memilih stabilisasi nilai tukar di tengah perekonomian yang sudah menunjukkan perlambatan, juga dapat berdampak tak kecil. Pertumbuhan ekonomi bisa terpukul tahun ini bahkan terjebak di batas bawah perkiraan bank sentral sendiri yang ditetapkan antara 4,5%-5,3%. 

Inflasi yang melandai di satu sisi memang bagus karena mengindikasikan pengendalian harga yang baik oleh otoritas. Akan tetapi, di sisi lain, inflasi yang terus melandai juga bisa menjadi pertanda pelemahan daya beli. Itu bisa terlihat dari laju inflasi inti. Pada Mei lalu, inflasi inti tercatat turun ke 2,66% dari sebesar 2,83% pada bulan sebelumnya. 

Inflasi inti kerap kali menjadi ukuran untuk melihat perkembangan daya beli. Sebab, inflasi inti berisi barang dan jasa yang harganya persisten, tidak mudah naik ataupun turun.

Penjualan smartphone terus turun melanjutkan tren penurunan sejak 2022 (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Ketika pertumbuhan harga yang 'bandel' ini sampai melambat, sering dilihat sebagai sinyal bahwa konsumen mengurangi belanja. Oleh karena itu, menjadi tanda adanya penurunan daya beli.

Penurunan inflasi inti itu, walaupun mungkin tidak bisa dilepaskan dari faktor musiman setelah berakhirnya Lebaran sebagaimana klaim BPS, sejatinya melengkapi berbagai sinyal perlambatan yang sudah lebih dulu muncul. Pertumbuhan kredit menurun ke level terendah dalam setahun terakhir, disusul daya beli masyarakat yang terlihat kian lemah terutama untuk pembelian barang-barang tahan lama.

Baca juga: Target Pertumbuhan Ekonomi Jokowi Tahun Ini Bisa Gagal

Data terakhir menyebut, pada kuartal 1-2023, penjualan smartphone di Indonesia turun 11,9%, melanjutkan tren penurunan penjualan pada 2022. 

Aktivitas manufaktur di Indonesia juga semakin melemah. Terindikasi dari data indeks manufaktur terbaru yang dirilis hari ini. S&P Global melaporkan, aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) di Indonesia ada di 50,3 pada Mei. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang 52,7 sekaligus menjadi yang terendah sejak November tahun lalu.

“Penyebab utama perlambatan PMI adalah penurunan permintaan baru (new orders). Volume pekerjaan turun untuk kali pertama sejak Agustus 2021, setelah pada April mencatat rekor tertinggi dalam 7 bulan terakhir,” sebut keterangan tertulis S&P Global.

Permintaan global juga turun, di mana permintaan baru turun selama 12 bulan beruntun. Menurut para panelis, penurunan permintaan global dan domestik dipengaruhi oleh kondisi pasar yang lemah.

-- dengan bantuan laporan dari Krizia P. Kinanti

(rui)

No more pages