Logo Bloomberg Technoz

Di kawasan Asia pada Selasa pagi ini, mayoritas mata uang bergerak menguat dipimpin oleh ringgit, won serta baht.

Rilis inflasi dan perdagangan

Hari ini, Badan Pusat Statistik akan melaporkan data inflasi IHK bulan Juni dan kinerja perdagangan Indonesia bulan Mei.

Konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg sejauh ini memperkirakan, inflasi IHK pada Juni akan naik 0,12% setelah pada Mei terjadi deflasi.

Sedangkan secara tahunan, inflasi IHK diperkirakan mencapai 1,8%, meningkat dibanding Mei 1,6%. Adapun inflasi inti juga diperkirakan sedikit bergerak jadi 2,42% dibanding 2,4% pada bulan sebelumnya.

Pasar juga memperkirakan, kinerja ekspor pada Mei hanya akan tumbuh 1,3%, melambat dibanding April 5,76%. Sedangkan impor diprediksi melambat tajam dengan pertumbuhan 1,1% saja setelah pada bulan sebelumnya melompat hingga 21,8%.

Alhasil, surplus dagang RI pada bulan Mei diperkirakan melonjak lagi menjadi US$ 2,66 miliar setelah pada April ambles tinggal US$ 159 juta.

Dari lanskap global, perhatian para pelaku pasar akan terarah pada perkembangan negosiasi AS dengan negara-negara yang ia kenakan tarif resiprokal. 

Perkembangan terbaru negosiasi AS dengan Jepang memberikan kewaspadaan pada pasar setelah Presiden Donald Trump mengancam akan menerapkan tarif baru pada Negeri Sakura itu karena keengganannya mengimpor beras dari Amerika Serikat.

Namun, pasar juga diliputi optimisme akan prospek suku bunga acuan Federal Reserve jelang laporan tenaga kerja pekan ini yang diperkirakan muram. Rekrutmen tenaga kerja diprediksi melambat dengan tingkat pengangguran Negeri Paman Sam diperkirakan naik jadi 4,3%.

Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan tak masuk akal meningkatkan penjualan utang jangka panjang mengingat posisi imbal hasil saat ini, meski berharap suku bunga di semua tenor akan turun seiring melambatnya inflasi.

Goldman Sachs memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga pada September karena dampak inflasi akibat tarif terlihat “sedikit lebih kecil” dari yang dikhawatirkan.

Kinerja rupiah Juni 

Rupiah mempertahankan penguatan selama dua bulan beruntun yakni Mei dan Juni. Meski pada Juni laju penguatannya melambat dengan kenaikan nilai 0,32%, setelah pada bulan sebelumnya menguat 1,87%.

Capaian rapor kinerja yang 'hijau' oleh rupiah di bulan Juni, terbilang langka karena dalam lima tahun terakhir setiap bulan keenam saban tahun, rupiah selalu melemah terhadap dolar AS akibat faktor musiman kenaikan permintaan valas.

Sementara menghitung selama tahun ini (year-to-date), kinerja rupiah masih 'merah' dengan pelemahan 0,84%, terburuk kedua di Asia pada 2025 setelah dolar Hong Kong yang melemah 1,04% pada periode sama.

Pelemahan dolar Amerika di pasar global menjadi faktor terbesar yang memberi dukungan bagi rupiah untuk lebih kuat bergerak. Selama Juni, indeks dolar mencatat pelemahan hingga 2,14%.

Rupiah mungkin bisa menguat lebih banyak bila saja tak terjegal turbulensi pasar yang sempat meningkat tajam akibat pecah perang Israel versus Iran pada 13 Juni lalu dan berlangsung sampai 12 hari.

Capaian penguatan rupiah selama Juni yang lebih kecil dibandingkan bulan sebelumnya, juga dipengaruhi salah satunya oleh hilir mudik aliran modal asing di pasar portofolio. 

Mengacu data Bloomberg, selama Juni lalu, asing masih mencatat nilai penjualan bersih di saham senilai US$ 511,5 juta atau sekitar Rp8,3 triliun. Hal itu berkebalikan dengan Mei di mana asing mencetak net buy saham RI senilai Rp5,5 triliun.

Tren serupa terlihat di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Selama bulan Juni sampai data perdagangan terakhir dirilis per 26 Juni, investor global membukukan posisi net sell bulanan untuk pertama kalinya dalam tujuh bulan di SBN. 

Global fund membukukan net sell senilai US$ 433,6 juta, sekitar Rp7,04 triliun month-to-date . Padahal dalam enam bulan berturut-turut sejak Desember lalu, asing selalu mencetak net buy bulanan.

Bahkan pada Mei lalu, asing mencetak pembelian bersih SBN senilai Rp26,1 triliun, pembelian bulanan terbesar sejak Agustus 2024 silam.

(rui)

No more pages