Logo Bloomberg Technoz

Baru pada 31 Mei pemerintah India menurunkan tarif impor minyak nabati menjadi 16,5%. Sebelumnya, tarif mencapai 27,5%.

Tingginya tarif impor India sudah dirasakan oleh CPO dari Indonesia. Gabungan Industri Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) melaporkan, ekspor CPO beserta produk turunannya mengalami penurunan 39% pada April dibandingkan Maret (month-to-month/mtm).

Ketua Umum Gapki, Eddy Martono mengatakan penyebab penurunan tersebut tak lain disebabkan penurunan ekspor ke salah satu negara utama, yakni India. “Lebih karena penurunan impor dari India, karena tarif impor India yang cukup tinggi," ujar Eddy saat dihubungi, akhir pekan lalu.

Komoditas andalan ekspor Indonesia lainnya yaitu batu bara juga dirundung kabar duka. China, negara tujuan ekspor batu bara terbesar Indonesia, mengurangi pembeliannya.

Otoritas Kepabeanan China melaporkan, impor batu bara pada Mei anjlok 17,75% yoy. Impor batu bara China sudah turun 3 bulan beruntun.

Dari Indonesia, impor batu bara China longsor 26% yoy menjadi 12,48 juta ton.

Impor Melambat Drastis

Sementara itu, konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg dengan melibatkan 17 analis/ekonom memperkirakan impor Indonesia tumbuh 0,9% yoy pada Mei. Jika terjadi, maka melambat signifikan ketimbang April yang melesat 21,84% yoy.

Lebih dari 90% impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal untuk keperluan industri dalam negeri. Kebetulan, industri Tanah Air sedang lesu darah.

S&P Global melaporkan, aktivitas manufaktur Indonesia yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) berada di 47,4 pada Mei. PMI di bawah 50 menandakan industri sedang berada di fase kontraksi, bukan ekspansi.

Pemesanan baru (new orders) melemah ke level terendah sejak Agustus 2021. Dunia usaha menyebut ini karena lemahnya permintaan,

Penurunan permintaan membuat produksi ikut turun. Produksi industri turun 2 bulan beruntun.

Dengan kondisi yang sulit, dunia usaha memilih untuk memanfaatkan stok yang ada, tidak membeli bahan baku baru. 

Neraca Dagang Masih Surplus

Meski ekspor turun, neraca perdagangan Indonesia tetap diperkirakan mengalami surplus. Konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg dengan melibatkan 16 ekonom/analis memperkirakan neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 2,4 miliar pada Mei.

Jika terwujud, maka jauh lebih tinggi ketimbang April yang ‘hanya’ surplus US$ 159 juta.

Surplus Mei juga menjadi pencapaian tersendiri, karena neraca dagang akan berada di posisi untung selama 61 bulan beruntun. Artinya, 5 tahun lebih 1 bulan.

Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI) Josua Pardede menilai, meskipun neraca perdagangan mencatat surplus yang lebih besar, tantangan eksternal masih perlu diwaspadai. Meskipun tensi perang dagang berkurang, tarif impor AS terhadap barang-barang China yang tetap tinggi atau 30% dibandingkan level sebelum perang dagang tetap memberikan tekanan terhadap pertumbuhan global serta harga komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia. 

Namun demikian, lemahnya permintaan domestik Indonesia di tengah kondisi ekonomi yang masih relatif tertekan berpotensi menekan laju impor sehingga mendukung posisi net ekspor yang tetap positif. Selain itu, tekanan harga minyak yang menurun akibat meredanya ketegangan di Timur Tengah juga memberikan dukungan tambahan terhadap neraca perdagangan.

"Dari perspektif yang lebih luas, kondisi surplus perdagangan yang stabil turut membantu menjaga defisit transaksi berjalan Indonesia pada level yang terkendali, meskipun diproyeksikan melebar sedikit menjadi 0,87% dari PDB (Produk Domestik Bruto) pada 2025, dibandingkan 0,63% pada 2024. BI (Bank Indonesia) memiliki ruang kebijakan yang memadai untuk menurunkan suku bunga acuan guna mendorong pertumbuhan ekonomi," terang Josua.

(aji)

No more pages