Potensi uranium di Kalimantan Barat, yang merupakan salah satu bahan bakar untuk PLTN, termaktub dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025—2034.
Dokumen RUPTL 2025-2034 tersebut mengungkapkan potensi uranium di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat mencapai sekitar 24.112 ton.
"Namun, pemanfatan nuklir sebeagai energi primer masih menunggu adanya kebijakan dari pemerintah yang didukung oleh studi kelayakan pembangunan PLTN," sebagaimana termaktub melalui dokumen RUPTL 2025—2034.
Sebelumnya, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan Rusia terbuka untuk kerja sama dengan mitra dari Indonesia di bidang nuklir, termasuk di bidang kesehatan, pertanian dan pelatihan staf.
Hal tersebut disampaikan Putin usai menerima Presiden Prabowo Subianto di Istana Konstantinovsky, St. Petersburg, Kamis (19/6/2025) petang, waktu setempat.
"Kami terbuka untuk kerja sama dengan mitra Indonesia di bidang nuklir. Kami juga berkeinginan untuk merealisasikan proyek nuklir di bidang damai, termasuk bidang kesehatan pertanian dan pelatihan staf," ujar Putin dalam keterangannya yang disampaikan secara virtual, dikutip Jumat (20/6/2025).
State Atomic Energy Corporation Rosatom atau Rosatom, perusahaan nuklir Rusia, mengajukan dua proposal pembangunan pembangit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia.
Proposal itu disampaikan Kepala Perwakilan Rosatom di Indonesia Anna Belokoneva dalam Pertemuan Sidang Komisi Bersama ke-13 antara Indonesia dan Rusia di Jakarta pada 14 April 2025 lalu.
Opsi pertama, perusahaan pembangkit nuklir asal Rusia itu mengajukan pembangunan PLTN modular atau small modular reactor (SMR) di daerah pedalaman dan PLTN dengan skala besar.
Untuk PLTN modular, Rosatom akan membangunnya di Kalimantan Barat dengan kapasitas 3x110 Megawatt (MW).
Unit I akan dibangun pada 2032, unit II pada 2033, dan unit III dibangun pada 2035. Biaya rata-rata listrik atau levelized cost of energy (LCOE) dari pembangkit ini sekitar US$85/MWh sampai US$95/MWh.
Sementara itu, untuk PLTN skala besar, Rosatom akan membangun dua PLTN di Bangka Belitung dengan kapasitas 2x1.200 MW. Adapun, di Kalimantan Selatan dengan kapasitas yang sama yakni 2x1.200 MW. Dengan LCOE untuk dua pembangkit skala besar ini di rentang US$65 per MWh sampai dengan US$75 per MWh.
Rosatom berencana untuk membangun dua PLTN skala besar tersebut secara bertahap pada 2037 hingga 2040 untuk ke empat pembangkit nuklir tersebut, dibagi ke dalam empat tahapan.
Opsi kedua, Rosatom mengusulkan untuk membangun PLTN terapung di Kalimantan Barat dengan kapasitas 2x110 MW. PLTN tersebut akan dibangun pada 2030 dan 2031. Tarif listrik diperkirakan di rentang US$150 per MWh sampai dengan US$190 per MWh.
Dalam berbagai kesempatan, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan PLTN di Indonesia dapat beroperasi pada 2030 atau berpeluang lebih cepat dua tahun dari target komersialisasinya yang ditetapkan pada 2032 dan lebih awal dari rencana semula pada 2039.
“Untuk PLTN itu kita mulai on itu 2030 atau 2032. Jadi mau tidak mau kita harus melakukan persiapan semua regulasi yang terkait dengan PLTN," kata Bahlil dalam keterangan resmi Kementerian ESDM, akhir April.
Menurut Bahlil, PLTN merupakan energi baru yang murah, dan bisa dimanfaatkan untuk menguatkan sistem kelistrikan nasional. Selain itu, penggunaan nuklir juga akan mengurangi pemanfaatan energi listrik berbahan bakar fosil.
Namun, Bahlil menekankan bahwa pemanfaatan nuklir sebagai sumber pembangkit listrik harus diimbangi dengan sosialisasi kepada masyarakat secara masif sehingga masyarakat memahami pemanfaatan nuklir.
(dov/wdh)






























