Adapun keempat perusahaan tersebut yakni PT Gag Nikel (PT GN), PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM), PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP).
Hanif menyebut seluruhnya telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP), namun hanya PT GN, PT KSM, dan PT ASP yang memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) PT Gag Nikel memiliki izin kontrak karya (KK) produksi yang berlaku sejak 2017 dan operasi perusahaan tersebut sudah berjalan sejak 2018.
Hanif menjelaskan hasil pengawasan KLH menunjukkan empat perusahaan tersebut memiliki pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil.
Dia memerinci bahwa PT ASP merupakan perusahaan asing asal China telah melakukan kegiatan pertambangan di Pulau Manuran seluas kurang lebih 746 hektare tanpa sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengelolaan air limbah larian.
“Di lokasi in KLH memasang plang peringatan sebagai bentuk penghentian aktivitas,” ujarnya.
Sementara itu, PT GN beroperasi di Pulau Gag dengan luas kurang lebih 6.030,53 hektare. Kedua pulau tersebut tergolong pulau kecil, sehingga aktivitas pertambangan di dalamnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“KLH saat ini tengah mengevaluasi Persetujuan Lingkungan yang dimiliki PT ASP dan PT GN,” ucapnya.
Selain itu, PT MRP ditemukan tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH dalam aktivitas tambangnya di Pulau Batang Pele sehingga seluruh kegiatan eksplorasi dihentikan. Sementara PT KSM terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH seluas 5 hektare di Pulau Kawe.
Hanif menjelaskan aktivitas tersebut telah menimbulkan sedimentasi di pesisir pantai, dan perusahaan itu akan dikenai sanksi administratif berupa pemulihan lingkungan serta berpotensi menghadapi gugatan perdata.
Dia membeberkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 turut memperkuat kebijakan pelarangan aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil.
Dalam aturan tersebut, MK menegaskan bahwa penambangan mineral di wilayah-wilayah itu dapat menimbulkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible), melanggar prinsip pencegahan bahaya lingkungan dan keadilan antargenerasi.
“Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen menindak tegas seluruh bentuk pelanggaran yang membahayakan lingkungan dan masa depan wilayah pesisir Indonesia,” jelas Hanif.
Aktivitas tambang nikel di Raja Ampat belakangan mendapat sorotan buntut laporan Greenpeace Indonesia ihwal eksploitasi nikel di Indonesia Timur dan merusak ekosistem serta lingkungan di destinasi pariwisata Raja Ampat, Papua Barat.
Imbas laporan tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia resmi membekukan sementara KK PT Gag Nikel di kawasan Raja Ampat.
Menurut Bahlil, berdasarkan laporan dari Ditjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, terdapat lima KK yang aktif di kawasan Raja Ampat, tetapi yang sudah beroperasi adalah milik anak usaha BUMN tambang, Antam.
“Agar tidak terjadi kesimpangsiuran, maka kami sudah memutuskan lewat Dirjen Minerba, untuk status daripada IUP [KK, red.] PT Gag itu kami untuk sementara kita hentikan operasinya sampai dengan verifikasi lapangan, kita akan cek,” kata Bahlil ditemui di Kementerian ESDM, Kamis (5/6/2025).
Pembekuan KK produksi tersebut berlaku sejak kemarin hingga peninjauan tim di lokasi penambangan.
Terima putusan
Usai KK dibekukan sementara oleh Bahlil, manajemen Gag Nikel mengaku menerima keputusan tersebut hingga proses verifikasi lapangan oleh pemerintah rampung.
Plt Direktur Utama Gag Nikel Arya Arditya menegaskan perusahaan telah memiliki seluruh perizinan operasi dan menjalankan operasional keberlanjutan sesuai dengan prinsip good mining practices (GMP).
Tidak hanya itu, Gag Nikel mengaku siap menyampaikan segala dokumen pendukung yang diperlukan untuk proses konfirmasi kepada Kementerian ESDM.
“Kami memahami pentingnya transparansi dan kepatuhan terhadap seluruh regulasi pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat,” tutur Arya.
Protes Greenpeace
Sebelumnya, aktivitas Greenpeace Indonesia menggelar aksi damai untuk memprotes pertambangan dan hilirisasi nikel yang dituding berdampak pada ekosistem di Raja Ampat.
Menurut Greenpeace, industri nikel dikembangkan dengan membabat hutan, mencemari sumber air, sungai, laut, hingga udara di Papua.
Organisasi tersebut juga menuding hilirisasi nikel akan memperparah dampak krisis iklim karena masih menggunakan pembangkit berbasis batu bara sebagai sumber energi dalam pemrosesannya.
“Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di bumi,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik, dalam keterangan tertulis, Selasa (3/6/2025).
Melalui ekspedisi di Papua pada 2024, Greenpeace mengeklaim menemukan aktivitas pertambangan di sejumlah pulau di Raja Ampat, di antaranya di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.
Menurut mereka, ketiga pulau itu termasuk kategori pulau-pulau kecil yang sebenarnya tidak boleh ditambang menurut UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
Greenpeace menuduh eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas.
“Sejumlah dokumentasi pun menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir–yang berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah,” papar lembaga nirlaba tersebut.
Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lain di Raja Ampat yang diklaim terancam tambang nikel adalah Pulau Batang Pele dan Manyaifun.
(ell)