Logo Bloomberg Technoz

Untuk itu,  dia berharap pelaku industri nikel nasional dapat membentuk sebuah standar ESG yang selaras dan dapat diterima oleh pakem internasional juga.

“Jadi ini bukan proses yang mudah. Saya rasa sekarang justru makin sulit dengan adanya situasi geopolitik. Akan tetapi, kita bisa bekerja sama, bertukar pikiran, dan bertukar best practices. Dengan demikian, semua negara berkembang dapat memiliki poin referensi tentang bagaimana kita membangun kebijakan nasional terkait dengan mineral kritis,” jelasnya.

Untuk diketahui, pelaku industri nikel di Tanah Air tengah menyusun format standarisasi aspek ESG sektor pertambangan di dalam negeri, agar komoditas andalan Indonesia itu tidak tergilas oleh kampanye ‘dirty nickel’.

Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli menjelaskan selama ini standar ESG di industri tambang yang bisa diterima oleh pasar internasional adalah Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA).

Hanya saja, dia tidak menampik, persyaratan dalam standar IRMA masih memberatkan bagi pelaku industri pertambangan nikel di Tanah Air.

Untuk itu, Rizal menyebut Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) tengah menggodok standar yang bisa diberlakukan di Indonesia.

Standar ESG yang tengah disusun tersebut tetap akan menyelaraskan dengan kriteria yang berlaku di pasar internasional, tetapi dengan tidak memberatkan pelaku industri di dalam negeri.

“Tahap awalnya adalah bagaimana perusahaan-perusahaan kita itu bisa mengaplikasikan ESG dahulu. Kalau semua sudah standar dengan perlindungan, nanti baru standarnya dinaikkan bertahap. Jangan langsung ikut IRMA, enggak kuat,” kata Rizal di sela acara ESG Forum 2025, Senin (2/6/2025).

Standardisasi ESG yang sedang disusun tersebut terutama akan diterapkan untuk pertambangan nikel, sebelum diperluas ke sektor lain seperti batu bara.

“Nanti kita akan berikan masukan ini kepada pemerintah, sehingga itu bisa dibuat semacam [rujukan]. Nanti akan kita kasih [ke Kementerian ESDM],” ujarnya.

Di tingkat global sejak awal tahun lalu, London Metal Exchange (LME) dibanjiri desakan oleh banyak perusahaan tambang Barat untuk membedakan klasifikasi antara 'nikel hijau' atau green nickel dan nikel biasa dalam perdagangan komoditas logamnya.

Penambang-penambang global menilai nikel murah yang diproduksi di Indonesia telah merusak harga pasar nikel premium, yang diproduksi dengan ongkos lebih mahal lantaran menggunakan sistem dan teknologi ramah lingkungan.

Namun, LME sebagai pengelola pasar logam barometer dunia justru memberi sinyal bahwa pasar 'nikel hijau' atau disebut juga 'nikel premium' atau green nickel masih belum sanggup menyaingi produksi logam sejenis dari China atau Indonesia.

(mfd/wdh)

No more pages