
Bloomberg Technoz, Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, pasar modal Indonesia mengalami lonjakan signifikan dalam jumlah investor muda. Data dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat bahwa lebih dari 50% investor baru berasal dari kelompok usia di bawah 30 tahun. Kemajuan teknologi, akses mudah melalui aplikasi investasi, serta dukungan regulasi dari OJK memungkinkan generasi milenial dan Gen Z memasuki dunia saham dengan lebih cepat dan mudah.
Namun, di balik euforia tersebut, muncul tantangan baru yang tak kalah serius: rendahnya literasi keuangan di kalangan investor muda. Banyak dari mereka terjebak dalam fenomena Fear of Missing Out (FOMO), yaitu keputusan investasi yang didasari rasa takut tertinggal tren, bukan pada pertimbangan rasional dan analisis mendalam.
Media sosial memainkan peran besar dalam fenomena ini. Di satu sisi, platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube telah menjadi alat edukasi yang efektif, dengan munculnya konten-konten keuangan berbahasa ringan dan visual menarik. Namun, di sisi lain, muncul pula seleb-investor dan influencer keuangan yang kerap memberikan rekomendasi saham tanpa dasar analisis yang kuat, mengiming-imingi keuntungan instan, dan mendorong perilaku spekulatif.
“Investasi yang dilandasi FOMO sering kali membuat investor muda mengambil keputusan tergesa-gesa tanpa memahami fundamental perusahaan atau potensi risiko. Ketika harga saham turun, kepanikan pun terjadi dan keputusan jual rugi menjadi konsekuensinya,” ujar laporan tersebut.
Pemerintah melalui OJK dan Bursa Efek Indonesia (BEI) telah meluncurkan berbagai inisiatif edukatif, seperti Sekolah Pasar Modal dan Galeri Investasi BEI di kampus-kampus. Kampanye #AkuInvestorSaham diharapkan dapat menjadi jembatan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang investasi yang sehat dan bertanggung jawab.































