Pada akhir Juli 2024, Meidy sempat mensiynalir BHP Group berpeluang untuk masuk dan melakukan investasi terhadap perusahaan tambang nikel di Indonesia, walaupun sebelumnya telah mengumumkan akan menyetop bisnis nikelnya yang merugi di Australia setidaknya hingga awal 2027.
“Kita sempat berdiskusi, tidak menutup kemungkinan, ini belum pasti ya; BHP akan masuk ke Indonesia. Kayaknya [masuk] tergantung situasi politik. Ini kita lagi menunggu regulasi apa untuk pemerintahan yang baru. Kita melihat nanti mungkin tahun depan [2025] kali ya [baru masuk],” ujar Meidy saat ditemui di Jakarta Pusat, akhir Juli.
Saat itu, Meidy mengatakan investasi tersebut berpeluang dilakukan karena BHP membutuhkan bahan baku untuk memproduksi nickel matte hingga produk turunannya.
Dengan demikian, Indonesia sekaligus bisa menghilangkan stigma bahwa nikel dan produk hilirnya selama ini hanya didominasi oleh investor China.
Sebagai informasi, BHP sebelumnya menyatakan bisnis Nickel West memasuki masa “perawatan dan pemeliharaan” mulai Oktober karena rendahnya harga logam nikel yang digunakan dalam baterai kendaraan listrik, katanya dalam sebuah pernyataan pada Kamis.
Penambang asal Australia itu juga akan menghentikan pengembangan tambang nikel West Musgrave.
Per Bloomberg, BHP berencana mengeluarkan A$450 juta per tahun untuk mendukung potensi dimulainya kembali bisnis nikel jika kondisi pasar dan prospek nikel membaik.
Harga nikel anjlok dalam beberapa tahun terakhir karena produksi baru berbiaya rendah dari Indonesia membanjiri pasar global.
Nikel diperdagangkan di US$15.594/ton pagi ini di London Metal Exchange (LME), menguat 0,65% dari hari sebelumnya.
Namun, harga nikel—yang mencapai puncaknya di atas US$100.000 per ton pada 2022 selama periode short squeeze yang terkenal — mengalami tren penurunan sekitar 8% tahun ini.
(wdh)


































