Bappebti, lanjutnya, ingin mengetahui apakah TINS beranggapan bursa berjangka timah eksisting yang sudah berjalan sejak 2013 tidak berfungsi dengan baik, sehingga perusahaan pelat merah tersebut ingin membuat mekanisme penjualan sendiri.
Tirta menjelaskan PT Timah sebenarnya sudah sejak 2020 menjadi anggota PT Bursa Berjangka Jakarta atau Jakarta Futures Exchange (JFX). Untuk itu, dia pun mempertanyakan urgensi di balik keinginan perseroan menjadi price maker.
“Kalau kita lihat, harga yang sudah terbuat dan terbentuk di bursa, itu pun sudah sangat menjadi harga acuan untuk ekspor [timah] juga, karena sudah sangat mengikuti harga yang selama ini di global; di London Metal Exchange [LME],” ujarnya.
Ruang Diskusi
Lebih lanjut, Tirta menegaskan Bappebti terbuka dengan ruang diskusi bersama PT Timah seandainya masalah yang dihadapi perseroan adalah karena merasa keberatan dengan fee di bursa berjangka JFX.
“Saat ini masih tidak ada keluhan dari anggota. Kecuali misalkan ada keluhan bahwa fee-nya ini dianggap memberatkan dan sebagainya, intinya semua masih dibuka ruang diskusi untuk evaluasi kalau misalkan ada keberatan dari asosiasi, PT Timah, dan sebagainya,” tuturnya.
Saat dimintai konfirmasi, Sekretaris Perusahaan di PT Timah Rendi Kurniawan mengatakan tujuan perseroan mengusulkan skema perdagangan timah satu pintu sekadar untuk memperkuat tata kelola perdagangan komoditas strategis nasional, termasuk timah.
“Terkait dengan posisi sebagai price maker, kami memahami bahwa harga acuan global seperti di LME tetap menjadi referensi utama,” ujar Rendi.
“Namun, perlu juga ada upaya agar Indonesia sebagai produsen timah besar di dunia memiliki kontribusi yang lebih signifikan dalam pembentukan harga yang berkeadilan bagi seluruh pemangku kepentingan,” terangnya.

Timah dilego di harga US$32.899/ton di LME pada Selasa (20/5/2025) pagi, menguat 0,25% dari hari sebelumnya.
Adapun, akhir tahun lalu TINS memproyeksikan harga timah pada 2025 berada di kisaran US$ 29.000/ton—US$ 31.000/ton, alias stagnan dari proyeksi harga yang ditetapkan perseroan untuk 2024.
Keinginan TINS untuk menjadi price maker—tidak sekadar price taker — timah diutarakan oleh Direktur Operasi dan Produksi PT Timah, Nur Adi Kuncoro dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI, Rabu (14/5/2025).
TINS menyatakan ingin menjual logam timah melalui skema penjualan satu pintu di Indonesia agar perseroan dapat menjadi aktor utama pemasok timah dan dapat mengontrol harga di pasar.
“[Mohon] dukungan kebijakan untuk mendorong penjualan timah satu pintu melalui BUMN PT Timah," kata Nur Adi.
Dengan berperan sebagai price maker, Nur Adi meyakini PT Timah ke depannya dapat memberikan kenaikan kontribusi bagi penerimaan negara.
Lagipula, Indonesia merupakan salah satu produsen timah terbesar di dunia sehingga memiliki posisi kuat untuk mengatur suplai dan harga.
"Kita juga bisa mampu untuk menentukan harga dan harapannya adalah untuk kontribusi di negara Indonesia baik melalui royalti, dividen, dan lain sebagainya," ujarnya.
Di sisi lain, Plt Ketua Umum Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) Harwendro Adityo Dewanto keberatan dan kurang setuju dengan rencana perusahaan pelat merah tersebut. Bahkan, dia menyebut langkah tersebut menjurus pada praktik monopoli pasar timah.
Harwendro menyebut usulan penjualan satu pintu tersebut sebelumnya sudah pernah dibahas oleh DPR, tetapi ditolak agar perusahaan swasta juga dapat melakukan penjualan timah secara adil.
“AETI sudah menyampaikan bahwa sebetulnya kita kurang setuju, karena itu praktik monopoli. Waktu itu pernah dibahas juga di Komisi VI. Tadi kita mengingatkan kembali karena ada potensi praktik monopoli, makanya dibuka juga potensi buat swasta," kata Harwendro saat ditemui di Kompleks Parlemen, medio pekan lalu.
Sebelum mengambil langkah lebih jauh, Harwendro mengingatkan agar pemerintah harus mengubah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 33/2015 tentang Ketentuan Ekspor Timah.
Namun, apabila revisi aturan tersebut dikabulkan, pemerintah dan PT Timah dikhawatirkan dapat memonopoli pasar komoditas bahan baku solder tersebut, sedangkan perusahaan swasta hanya bisa pasrah mengikuti aturan yang berlaku.
"Sebetulnya sama saja mau lewat bursa atau nanti PT Timah bikin bursa atau nanti penjualan lewat PT Timah tidak ada masalah. Waktu itu regulasinya kan memang lewat Bappebti Kemendag," ucapnya.
(wdh)