Logo Bloomberg Technoz

Dian mengatakan, dalam pelaksanaan pengawasan bank, OJK senantiasa mendorong bank untuk menjaga integritas, termasuk laporan keuangan dan menerapkan strategi anti fraud, sebagaimana masing-masing hal tersebut telah diatur dalam peraturan OJK.

"Bank telah diwajibkan untuk memiliki proses pelaporan keuangan yang berintegritas untuk memastikan kebenaran, keakuratan, serta transparansi informasi keuangan dan laporan keuangan yang dihasilkan," ujarnya.

Selain itu, bank juga telah diwajibkan untuk menyusun dan menerapkan strategi anti-fraud untuk meminimalisir terjadinya fraud. Dalam pemantauan terhadap pemenuhan kedua POJK tersebut, OJK senantiasa melakukan pengawasan terhadap penerapannya pada bank, termasuk BPD.

Sebelumnya, OJK melakukan audiensi dengan KPK tentang kerja sama program antikorupsi. Salah satu topik yang dibahas dalam audiensi tersebut terkait dengan temuan KPK pada sejumlah Bank Pembangunan Daerah (BPD).

Dalam kajian Direktur Monitoring KPK terpetakan potensi korupsi pada BPD, khususnya terkait penyaluran kredit dan penanganan kredit bermasalah. KPK menemukan adanya enam permasalahan yang terindikasi fraud, kelalaian, hingga kelemahan regulasi dalam sejumlah kredit atau pembiayaan bermasalah pada BPD. Totalnya mencapai Rp1,26 triliun.

"OJK sesuai kewenangan dan fungsinya, tentunya punya peran strategis dalam pencegahan korupsi, khususnya pada sektor jasa keuangan di Indonesia. Di sisi lain, jasa keuangan juga memiliki potensi risiko korupsi," kata juru bicara KPK, Budi Prasetyo dikutip Rabu (14/05/2025).

Temuan pertama, menurut dia, terdapat indikasi fraud dalam penyaluran kredit bermasalah sebagaimana tercantum dalam POJK No.39 /POJK.03/2019. Dia menyebut, dari 12 jenis fraud yang tercantum dalam POJK tersebut, terdapat empat jenis fraud yang terjadi pada sampel bank daerah yang diteliti.

Yakni, side streaming atau penggunaan kredit tidak sesuai peruntukkan, debitur fiktif, debitur topengan, dan rekayasa dokumen. Nilai total penyaluran pembiayaan yang menimbulkan fraud tersebut sebesar Rp451,19 miliar.

Kedua, KPK menemukan key person pembiayaan tidak dalam kepengurusan atau bukan pemegang saham pengendali perusahaan (PSP), baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada tiga bank daerah yang menjadi sampel, KPK menemukan empat penyaluran kredit macet tahun 2013-2020 dengan nilai Rp260 miliar. Analisis kelayakan pemberian kreditnya menitikberatkan pada profil key person dibandingkan profil perusahaan (debitur).

“Ketika terdapat permasalahan terhadap key person yang tidak termasuk dalam pengurusan perusahaan, misalnya key person meninggal dunia, debitur tidak melanjutkan pembayaran kewajibannya. Permasalahan ini terjadi karena sebagian BPD sampel tidak mewajibkan key person masuk dalam kepengurusan dan atau PSP perusahaan baik langsung maupun tidak langsung,” ujar Budi.

Ketiga, lanjutnya, termin pembayaran tidak diterima bank. Budi menyatakan pada lima BPD yang menjadi sampel, terdapat sebelas penyaluran kredit berkolektibilitas macet tahun 2013-2020 dengan nilai total sebesar Rp72 milliar.

Kata dia, permasalahan tersebut biasanya terjadi pada pembiayaan di sektor konstruksi yang terjadi dalam bentuk, pengalihan rekening penerimaan pembayaran proyek dari rekening BPD ke rekening bank lain tanpa sepengetahuan BPD. Termin pembayaran proyek yang masuk rekening penampungan tidak diblokir atau dipotong oleh bank, pencairan kredit jauh melebihi progres pekerjaan.

“Fraud pengalihan rekening pembayaran diduga terjadi karena persengkongkolan antara debitur dan perwakilan bouwheer (bohir), sedangkan dugaan fraud terkait tidak diblokirnya rekening penampungan melibatkan pejabat BPD," kata Budi.

"Di sisi lain, pencairan kredit atau pembiayaan yang jauh melebihi progres dikarenakan sebagian regulasi BPD tidak mewajibkan pencairan fasilitas berdasarkan progres pekerjaan.”

Keempat, usaha atau debitur yang tidak feasible untuk dibiayai. Berdasarkan pemeriksaan KPK, lima bank daerah yang menjadi sampel memiliki enam penyaluran kredit modal kerja dengan kolektibilitas macet pada 2007-2022 senilai Rp224,7 miliar. Dimana kolektibilitas macet tersebut terindikasi terkait debitur yang tidak feasible untuk dibiayai. 

“Permasalahan ini terjadi karena di antaranya BPD mengabaikan karakter debitur, verifikasi dan validasi usaha tidak dilakukan dengan baik, pengabaian atas reviu risiko dan kepatuhan,” ungkap Budi.

Kelima, jaminan kredit yang bermasalah. Dimana pihaknya menemukan jaminan bermasalah pada sejumlah penyaluran kredit senilai Rp234,4 miliar pada tahun 2007-2002 yang telah berstatus macet.

Jaminan bermasalah tersebut, dikelompokan menjadi tiga bagian yakni nilai jaminan di bawah nilai pencairan kredit,  jaminan tidak dimiliki atau dikuasai debitur, dan dokumen kepemilikan agunan tidak dikuasai BPD. 

“Kondisi tersebut terjadi diduga dikarenakan tidak dilakukannya penilaian berkala untuk jaminan dan ketidakharusan agunan yang diserahkan ke bank untuk dimiliki debitur/pihak yang terafiliasi debitur,” ujar dia.

Terakhir, terdapat  moral hazard dalam pembayaran kredit multiguna. Ia menjelaskan. ditemukan penyaluran kredit multiguna di empat BPD dengan nilai Rp20,86 miliar kepada anggota DPRD Provinsi periode 2015-2019 dan 2019-2024 yang saat ini berstatus macet.

(lav)

No more pages