Bloomberg Technoz, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengeluarkan delapan catatan di balik pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di level 4,8% pada kuartal I-2025.
Sebagaimana diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di level 4,87% pada kuartal I-2025. Angka pertumbuhan tersebut tercatat terendah sejak kuartal III-2021 lalu.
"Perlambatan ini adalah sinyal penting yang tak boleh diabaikan, alarm yang menandakan adanya banyak sisi fundamental yang perlu segera dibenahi. Jika dibiarkan, ekonomi Indonesia bisa kehilangan momentumnya dan semakin sulit keluar dari jurang perlambatan," tulis catatan Indef di akun Instagram resminya, dikutip Kamis (15/5/2025).
Pertama, dalam catatan tersebut, ekspor Indonesia bertumpu pada komoditas mentah yang rentan gejolak global. Indef berpendapat, Indonesia belum melompat ke arah industrialisasi berbasis teknologi, belum agresif merespons tren ini, dan strategi diversifikasi ekonomi masih terbilang lemah.

Kedua, risiko ganda dan harga komoditas yang fluktuatif menciptakan kejutan ganda bagi ekonomi Indonesia. Meski memberikan efek positif karena lonjakan harga batu bara dan minyak menambah royalti, tetapi negative margin shock terjadi karena harga nikel dan CPO anjlok.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi melambat menjadi alarm struktural. Menurut Indef, pelemahan ini bukan sekedar imbas global tetapi lebih pada kegagalan domestik melakukan transformasi struktural.
Keempat, investasi dan konsumsi kolaps serta belanja pemerintah malfungsi. Indef menyebutkan, mesin utama pertumbuhan ekonomi lumpuh, terlihat dari konsumsi rumah tangga yang melemah. Tak hanya itu belanja pemerintah juga dikonstraksi lewat efisiensi anggaran hingga Rp300 triliun.
Kelima, hilirisasi hanya jadi simulasi yang membuat industri seperti kehilangan napas. Katanya, dari sisi penawaran pertumbuhan tinggi sektor pertanian hanya bersifat musiman. Tetapi, kenyataan pahitnya sektor manufactur dan pertambangan malah stagnan. Sedangkan, dua sektor tersebut menjadi pilar utama hilirisasi industri Indonesia.

Keenam, likuiditas perbankan yang mengering. Tingginya suku bunga dari BI-Rate hingga yield SBN menyebabkan migrasi dana ke aset-aset berimbal hasil tinggi. Ini berarti, likuiditas makin menjauh dari sektor riil, padahal hal inilah yang menopang pertumbuhan ekonomi. Hasilnya, dunia usaha seperti kesulitan bernapas dan pertumbuhan pun tertahan.
Ketujuh, dunia usaha layu dan kredit pun menurun. Diketahui, pertumbuhan kredit menurun dari 9,7% di Februari 2025 menjadi hanya 8,7% di Maret 2025. Sedangkan tingkat undisbursed loan (fasilitas kredit) naik 27,83% (yoy). Ini menunjukkan banyak pelaku usaha yang sudah disetujui kreditnya, namun belum berani menarik dana untuk produksi maupun ekspansi usaha.
Kedelapan, Indonesia saatnya mengandalkan kekuatan domestik. Di tengah ketidakstabilan global, Indonesia perlu melihat potensi ekonomi domestik sebagai sumber pertumbuhan baru. Caranya, mendorong konsumsi melalui stimulus fiskal tepat sasaran. Perkuat industri pengolahan, hingga membangun ekosistem pendukung dari energi terjangkau, logistik efisien, dan regulasi fiskal.
"Industri tak bisa tumbuh sendiri, butuh dukungan dari ekosistem yang kuat. Pertumbuhan ekonomi tak datang tiba-tiba. Ia dibangun dari dalam," tulis INDEF.
(mef/roy)