
Bloomberg Technoz, Jakarta - Eskalasi perang dagang yang mendingin dengan cepat pasca negosiasi maraton selama akhir pekan lalu antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, sejurus dengan kesepakatan penurunan tarif masing-masing sebesar 115%, memberi kelegaan dunia yang sudah ketar-ketir oleh ancaman resesi.
Dengan jeda 'gencatan tarif' selama 90 hari ke depan antara dua seteru utama tersebut, kini perkembangan positif juga akan ditunggu untuk kemajuan negosiasi antara AS sebagai pihak yang mengobarkan perang, dengan negara-negara lain yang ia bidik, tak terkecuali Indonesia.
Perang dagang yang memanas, meski kini tensinya turun drastis, diyakini tetap akan berdampak pada kelesuan perdagangan global. Bahkan bagi Indonesia, penurunan tarif AS pada China jadi 30% adalah kabar buruk karena itu berarti tarif yang dikenakan pada RI jadi lebih besar. Daya saing barang ekspor Indonesia ke AS, makin tertekan.
Dalam lanskap perdagangan global yang terancam fragmentasi makin tajam, perekonomian Indonesia menghadapi tantangan makin besar mengingat ekspor adalah salah satu pendorong Produk Domestik Bruto (PDB) meski tak dominan.
Kelesuan ekspor akibat perang dagang, hampir pasti terjadi ketika konsumsi rumah tangga yang selama ini jadi motor utama perekonomian sudah makin terseok-seok lajunya.































