Logo Bloomberg Technoz

Sektor dengan realisasi investasi bidang hilirisasi yang terbesar adalah mineral dengan total Rp97,6 triliun pada kuartal I-2025.

Perinciannya, nikel Rp47,82 triliun; tembaga Rp17,7 triliun; bauksit Rp12,84 triliun; besi baja Rp12,01 triliun; timah Rp1,53 triliun dan lainnya Rp5,7 triliun. Adapun, komoditas lainnya meliputi pasir silika, emas, perak, kobalt, mangan, batu bara dan aspal buton.

Pengakuan

Di sisi lain, Julian menuturkan langkah Filipina melarang ekspor mineral bijih—jika benar-benar dilakukan — akan meningkatkan harga nikel. Tidak hanya itu, industri pengolahan di Indonesia akan terdorong untuk hanya bertumpu pada pasokan di dalam negeri dan tidak lagi mengimpor dari Filipina.

Menurutnya, rencana larangan ekspor bijih nikel Filipina merupakan bentuk pengakuan atas keberhasilan Indonesia dalam membangun ekosistem industri pengolahan dan pemurnian atau smelter.

Indonesia,  sebut Julian, menjadi negara yang telah lebih dahulu menerapkan kebijakan hilirisasi sejak 2014.

Dia menyebut langkah Filipina tersebut juga mencerminkan tren global menuju peningkatan nilai tambah komoditas tambang di dalam negeri.

“Ini menjadi sinyal positif bahwa negara-negara produsen nikel mulai fokus pada keberlanjutan industri dan kedaulatan sumber daya,” tuturnya.

Nikel diperdagangkan di US$15.735/ton di London Metal Exchange (LME) hari ini, meningkat tipis sebesar 0,64% dari hari sebelumnya.

Harga nikel sepanjang tahun lalu menyentuh rekor terendah dalam empat tahun terakhir setelah sebelumnya diproyeksikan mencapai US$18.000/ton, turun dari perkiraan sebelumnya di level US$20.000/ton, menurut lengan riset dari Fitch Solutions Company, BMI.

Terpisah, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi memproyeksikan wacana Filipina meratifikasi undang-undang pelarangan ekspor mineral bijih pada Juni 2025 akan berdampak ke pasar nikel. Harga diramal meningkat 2%—3% per tahun.

“Harga nikel itu dengan keadaan seperti ini kemungkinan besar harganya akan lebih bagus, lebih tinggi. Kalau naiknya pun juga enggak akan terlalu besar ya. Mungkin bisa 2%—3% lah dalam satu tahun, itu pun juga diangkat oleh rekonsiliasi yang terjadi di Eropa dan Timur Tengah,” ujar Ibrahim.

Wacana pelarangan ekspor mineral bijih menyeruak pada awal Februari 2025, saat pemimpin Senat Filipina mengatakan Kongres berpotensi meratifikasi RUU larangan ore paling cepat pada Juni tahun ini.

RUU tersebut bertujuan untuk melarang ekspor bijih mentah dalam upaya Filipina meningkatkan industri pertambangan hilir.

Adapun, jika RUU disetujui, pemberlakuan larangan ekspor bijih mineral kemungkinan akan lima tahun setelah undang-undang ditandatangani, guna memberi waktu kepada para penambang untuk membangun pabrik pemrosesan.

"Jika ini dilakukan, saya yakin ini akan menjadi game changer bagi negara kita jika kita akhirnya akan memiliki pemrosesan di sini," kata Escudero, yang menulis RUU yang disahkan Senat pada pembacaan ketiga dan terakhir pada Senin.

Bukan kali pertama Filipina berupaya melarang ekspor mineral bijih demi memacu hilirisasi di dalam negeri. Pada 2014 dan 2016, Kongres pernah menyuarakan wacana tersebut, tetapi gagal karena minimnya dukungan.

Menurut International Energy Agency (IEA), tiga produsen nikel terbesar pada 2030 dari sisi pertambangan a.l. Indonesia (62%), Filipina (8%), dan New Caledonia (6%). Sementara itu, dari sisi pemurnian atau smelter a.l. Indonesia (44%), China (21%) dan Jepang (6%).

(wdh)

No more pages