LGES Terdepak dari Proyek Titan
Pada April 2025, LGES resmi mengumumkan alasan di balik keputusan hengkangnya dari megaproyek baterai EV senilai US$7,7 miliar (sekitar Rp129,84 triliun asumsi kurs saat ini) di Indonesia.
Cabutnya LGES dari proyek yang dikenal dengan kode 'Proyek Titan' itu diumumkan perusahaan asal Korea Selatan tersebut pada Jumat (18/4/2025), mengutip alasan “perubahan kondisi pasar” sebagai faktor utama di balik keputusan mereka.
Adapun, Proyek Titan merupakan salah satu megaproyek baterai EV nasional yang melibatkan konsorsium Korea Selatan tersebut bersama Indonesia Battery Corporation (IBC).
“Setelah mempertimbangkan dengan saksama lanskap pasar EV global yang terus berkembang, kami telah memutuskan bahwa proyek khusus ini tidak lagi sejalan dengan prioritas strategis kami,” ujar juru bicara LGES melalui pernyataan resmi, dikutip Senin (21/4/2025).
Dalam perkembangannya, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Perkasa Roeslani mengklarifikasi keluarnya LGES dari Proyek Titan merupakan keputusan terminasi kontrak dari Pemerintah Indonesia, bukan karena perusahaan Korea Selatan tersebut hengkang.
Rosan menjelaskan keputusan terminasi kerja sama itu justru menjadi inisiatif dari pemerintah. Rosan beralasan negosiasi untuk esekusi proyek dengan nilai investasi mencapai US$9,8 miliar (Rp165,32 triliun) itu cenderung berlarut-larut dengan LGES.
Rosan menuturkan surat terminasi perjanjian kerja sama itu diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 31 Januari 2025. Surat yang diteken Menteri ESDM Bahlil Lahadalia itu kemudian dikirim ke CEO dari LG Chem Ltd dan LGES.
Di sisi lain, dia menambahkan, keputusan untuk mengakhiri kerja sama dengan LGES juga didorong oleh minat Zhejiang Huayou Cobalt Co, yang dinilai lebih berkomitmen untuk menjadi pimpinan konsorsium di Proyek Titan.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menggarisbawahi, secara keseluruhan, proyek hilirisasi bijih nikel menjadi baterai EV di Tanah Air tidak mengalami perubahan mendasar.
Hal yang terjadi, kata Bahlil, hanyalah penyesuaian mitra investasi dalam struktur usaha patungan atau joint venture (JV) di proyek senilai hampir US$8 miliar (sekitar Rp135 triliun) tersebut.
"Perubahan hanya terjadi pada level investor, di mana LG tidak lagi melanjutkan keterlibatannya pada JV 1, 2, dan 3 yang baru, dan telah digantikan oleh mitra strategis dari China, yaitu Huayou, bersama BUMN kita," ujarnya melalui siaran pers, Rabu (23/4/2025).
Dia pun menekankan bahwa, secara konsep, pembangunan megaproyek baterai yang juga dijuluki Indonesia Grand Package tersebut tidak ada yang berubah. "Infrastruktur dan rencana produksi tetap sesuai dengan peta jalan awal."
BASF & Eramet Angkat Kaki dari Sonic Bay
Pada pertengahan 2024, Indonesia resmi ditinggalkan oleh dua investor asal Eropa, yakni BASF SE dan Eramet SA, dalam proyek Sonic Bay yang memiliki nilai investasi sebesar US$2,6 miliar (sekitar Rp43,74 triliun asumsi kurs saat ini).
Sonic Bay sendiri merupakan pabrik pemurnian atau smelter nikel/kobalt berbasis high pressure acid leach (HPAL) yang menghasilkan bahan baku baterai EV berupa mixed hydroxide precipitates (MHP) dan dibangun di Kawasan Industri Teluk Weda, Maluku Utara.
Proyek smelter HPAL Sonic Bay pada awalnya dirancang untuk memproses sebagian bijih dari tambang Weda Bay Nickel demi menghasilkan produk antara nikel dan kobalt, yakni sekitar 60.000 ton nikel dan 6.000 ton kobalt yang terkandung dalam endapan campuran hidroksida yang dikenal sebagai MHP, sebagai bahan baku baterai EV.
“BASF dan Eramet menyampaikan secara langsung minat investasinya kepada Bapak Presiden Joko Widodo untuk melakukan investasi di Maluku Utara dalam rangka pembangunan ekosistem baterai kendaraan listrik,” jelas Bahlil Lahadalia, yang saat ini masih menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dalam siaran pers.
Bahlil saat itu mengatakan pembangunan proyek ini akan memperhatikan lingkungan serta menggunakan energi hijau.
Dengan demikian, investasi BASF dan Eramet dinilai sebagai momentum untuk menganulir cara berpikir yang mengatakan seolah-olah pengelolaan tambang di Indonesia tidak memperhatikan kaidah dan standar internasional.
Dalam sebuah pernyataan resmi, BASF telah menyimpulkan tidak akan melaksanakan proyek pemurnian nikel-kobalt di Teluk Weda setelah melakukan evaluasi menyeluruh.
Selang beberapa waktu, Eramet juga mengumumkan untuk mundur dari proyek penghiliran nikel untuk bahan baku baterai EV tersebut.
Dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg Technoz pada Juli 2024, Eramet Indonesia selaku anak perusahaan tambang asal Prancis itu mengatakan alasan hengkang dari megaproyek smelter hidrometalurgi Sonic Bay di kawasan industri Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dipicu oleh sudah banyaknya proyek di tempat yang sama.
Bruno Faour, yang kala itu menjabat sebagai Direktur Eramet Indonesia, mengatakan situasi tersebut berpotensi menimbulkan ganggugan dalam banyak hal, salah satunya terkait dengan lahan, air, dan pasokan bijih nikel.
“Jika memiliki banyak smelter berbasis HPAL di tempat yang sama, itu bisa menjadi sedikit rumit. [Proyek] membutuhkan banyak air, dan kami tidak memiliki danau besar dengan sumber daya air yang besar di sana. Bijihnya sama, ada banyak bijih, tetapi ada banyak proyek juga,” ujar Faour.
Menurut Faour, kondisi tersebut menimbulkan banyak ketidakpastian pada keseimbangan antara pengembangan proyek dan ketersediaan pasokan yang mendukung proyek tersebut, seperti bijih, air, lahan, dan energi.
Sekadar catatan, sebelumnya pemerintah juga mengatakan terdapat 2 smelter nikel berbasis HPAL yang sedang dibangun di Teluk Weda, Maluku Utara; terlepas dari hengkangnya 2 investor Eropa —BASF SE dan Eramet SA — di proyek Sonic Bay.
Komitmen Foxconn Tak Jelas
Hingga saat ini, belum terdapat perkembangan terbaru dari investasi Hon Hai Precision Industry Co atau Foxconn di Indonesia.
Pada April 2024, Bahlil, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM, memberikan penjelasan investasi Foxconn yang terus mengalami penundaan terjadi karena masih ada hal yang perlu didiskusikan antara perusahaan asal Taiwan itu bersama pemerintah Indonesia sebelum akhirnya mereka resmi berinvestasi.
“Salah satu PR saya terkait Foxconn, masih negosiasi,” ucap Bahlil di Jakarta, Senin (29/4/2024).
Pada Januari 2022, padahal, Bahlil sudah menandatangani nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan Hon Hai Precision Industry Co Ltd (Foxconn), Gogoro Inc, PT Industri Baterai Indonesia (IBC), dan PT Indika Energy Tbk (INDY).
MoU tersebut mengenai Kerja Sama Investasi Pengembangan Ekosistem Energi Baru Berkelanjutan melalui Investasi Baterai Listrik, Kendaraan Listrik dan Industri Pendukungnya melalui Skema Kerjasama Build-Operate-Localize (BOL) di Indonesia.
Melalui nota kesepahaman ini, Foxconn, Gogoro, IBC dan Indika akan menjajaki kerja sama investasi yang luas untuk ekosistem EV di Indonesia dengan perkiraan nilai total investasi dalam proyek-proyek tersebut oleh seluruh mitra usaha diperkirakan akan mencapai USD8 miliar (sekitar Rp114 triliun).
Keseluruhan proyek diperkirakan akan menghasilkan kapitalisasi pasar dengan nilai total lebih dari US$100 miliar di Indonesia pada 2030.
Perkembangan investasi tersebut sempat terjadi pada September 2022. Kala itu, Indika Energy melalui anak usahanya PT Mitra Motor Group (MMG) dengan mendirikan perusahaan patungan dengan afiliasi Hon Hai Technology Group (Foxconn), Foxteq Singapore Pte. Ltd.
Perusahaan patungan, PT Foxconn Indika Motor (FIM), akan menjalankan bisnis manufaktur untuk kendaraan listrik komersial dan baterai listrik, serta menyediakan layanan konsultasi manajemen.
Britishvolt Tak Ada Kepastian
Pada Oktober 2023, Bahlil—yang saat itu menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM — mengatakan perkembangan rencana investasi Britishvolt masih mandek atau belum memiliki perkembangan yang signifikan karena kondisi global.
Menyitir Reuters pada Maret 2022, perusahaan rintisan (startup) baterai EV Britishvolt dan VKTR, bagian dari unit otomotif Bakrie & Brothers, mengatakan bahwa mereka akan mengembangkan kapasitas pemurnian nikel berkelanjutan di Indonesia dan mempertimbangkan untuk membangun pabrik baterai di sana.
Kedua perusahaan akan membentuk usaha patungan yang disebut Indovolt BV VKTR, untuk menyediakan nikel sulfat, bahan penting untuk baterai EV berkinerja tinggi, yang pada akhirnya akan diproduksi menggunakan energi terbarukan sejalan dengan tujuan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) Britishvolt.
Indovolt juga akan mencari negara lain untuk pabrik baterai potensial. VKTR tengah mencari mitra untuk membangun pabrik baterai berkapasitas 15 gigawatt hour (GWh) di Indonesia.
(dov/wdh)
































