Data ini menyoroti tantangan bagi para pembuat kebijakan yang ingin mempertahankan pertumbuhan karena meningkatnya perang dagang mengancam akan menghantam ekonomi berorientasi ekspor, seperti Korsel.
Data perdagangan awal yang dirilis pekan ini menunjukkan pengiriman Korsel ke AS turun 14,3% dalam 20 hari pertama April. Data Kamis mendukung alasan BOK untuk melanjutkan penurunan suku bunga saat menetapkan kebijakan selanjutnya pada 29 Mei.
"Yang lebih mengkhawatirkan adalah ekonomi bisa memasuki resesi dengan pertumbuhan negatif lainnya di kuartal kedua," kata Park Sang-hyun, ekonom di iM Securities, yang menilai kondisi ekspor semakin buruk karena ketidakpastian tarif. "Hal ini pasti akan memengaruhi kebijakan moneter BOK dan diskusi anggaran tambahan di parlemen."
Investasi konstruksi jatuh 3,2%, menandai penurunan empat kuartal berturut-turut. Pekan lalu, Gubernur BOK Rhee Chang-yong mengatakan sentimen ekonomi tidak pulih cukup cepat, di mana pasar konstruksi menunjukkan momentum yang lebih lemah secara khusus.
Data BOK menunjukkan konsumsi swasta dan belanja pemerintah masing-masing turun 0,1%, begitu juga dengan investasi fasilitas yang anjlok 2,1%. Ekspor melemah 1,1% karena berkurangnya pengiriman produk kimia dan peralatan lainnya.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) minggu lalu merevisi proyeksi perdagangan global secara drastis. Mereka saat ini memperkirakan volume perdagangan barang dunia akan merosot sebesar 0,2% pada tahun 2025—hampir tiga poin persentase lebih rendah daripada yang seharusnya terjadi tanpa perang dagang yang dipimpin AS.
Awal pekan ini Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan produksi global untuk tahun 2025 menjadi 2,8% dari perkiraan sebelumnya sebesar 3,3%. Prospek pertumbuhan Korsel dipangkas menjadi 1% dari 2% yang diproyeksikan pada Januari.
Korsel, sekutu utama AS, dikenai tarif sebesar 25% yang untuk sementara waktu dikurangi menjadi 10% selama 90 hari. Seperti negara-negara lain, Korsel juga menghadapi pungutan 25% atas pengiriman mobil, baja, dan aluminium. Para pejabat Korsel saat ini berada di Washington dalam upaya membujuk pemerintahan Trump agar menurunkan bea masuk.
Pekan lalu, BOK memperingatkan bahwa ekonomi menghadapi risiko penurunan yang terbilang besar dari agenda perdagangan Trump, tetapi nilai tukar won yang goyah dan kenaikan inflasi yang mengejutkan pada Maret membantu meyakinkan bank sentral untuk mempertahankan suku bunga di 2,75%.
Setelah Yoon dicopot dari jabatannya secara permanen, Pilpres dadakan pada 3 Juni nanti dipandang sebagai peluang utama untuk memulihkan stabilitas politik dan menopang kepercayaan konsumen dan bisnis di negara dengan ekonomi terbesar keempat di Asia ini.
Pasar berspekulasi bahwa pemerintahan baru akan memiliki lebih banyak kekuatan dan mandat yang lebih jelas untuk mengambil tindakan efektif guna menghidupkan kembali aktivitas ekonomi.
Bahkan ketika BOK bergerak dengan hati-hati, pemerintah mengumumkan rencana anggaran tambahan sebesar 12 triliun won (US$8,4 miliar) karena berusaha memacu ekonomi dengan meningkatkan belanja fiskal.
Bank sentral sebelumnya memproyeksikan PDB akan tumbuh 0,2% pada kuartal pertama 2025. Hanya dua dari 16 ekonom yang disurvei Bloomberg pada April yang memperkirakan pertumbuhan negatif, sedangkan enam lainnya memperkirakan pertumbuhan nol.
Lebih jauh lagi, mereka memangkas perkiraan pertumbuhan mereka pada tahun 2025 menjadi 1,4% dari 1,6% dalam survei Bloomberg sebelumnya, sedangkan prospek tahun 2026 dipangkas menjadi 1,9% dari 2%.
(bbn)






























