Pemerintah harus arif dan bijak dalam memutuskan regulasi tersebut. Apalagi, dalam beberapa hari terakhir ini banyak sekali aspirasi agar pemerintah tidak menaikkan royalti atau paling tidak menunda rencana tersebut.
“Pemerintah juga harus melihat kondisi objektif bahwa kondisi usaha dan ekonomi memang benar-benar berat, jika beban berat ditambahkan lagi [kenaikan tarif royalti] pada pelaku usaha bisa berdampak fatal,” kata Bisman saat dihubungi, Senin (24/3/2025).
Dengan kondisi ketidakpastian ekonomi yang tinggi yang mengimpit pengusaha, paling tidak penyesuaian tarif royalti diberlakukan akhir 2025 atau awal tahun depan. Harapannya, kondisi ekonomi dan harga komoditas bisa naik.
Dalam kaitan itu, Bisman menyarankan pemerintah untuk memberikan aturan peralihan terkait dengan pemberlakuan revisi PP tersebut.
“Misalnya, dalam pasal akhir PP tersebut ditambahkan, waktu keberlakuan PP ini atau keberlakuan ketentuan tertentu diatur lebih lanjut atau ditetapkan oleh Menteri [ESDM],” ujarnya.
Berbagai kalangan asosiasi pertambangan—khususnya sektor mineral — sebelumnya mengkritik rencana pemerintah menaikkan tarif royalti minerba, lantaran harga berbagai komoditas logam andalan Indonesia tengah anjlok.
Para penambang saat ini tengah dihadapkan pada masalah makin tingginya biaya pertambangan di Tanah Air setelah pemerintah menerapkan berbagai kebijakan baru pada 2025.
Kebijakan tersebut mencakup kenaikan biaya biodiesel B40 yang signifikan, kenaikan upah minimum regional (UMR) minimal 6,5%, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang membuat harga alat berat makin mahal, serta pengenaan kewajiban retensi dana hasil ekspor (DHE) sebesar 100% selama 12 bulan.
Selain itu, penerapan global minimum tax (GMT) sebesar 15% mulai Tahun Pajak 2025, iuran tetap tahunan, serta pajak bumi bangunan (PBB) on shore dan tubuh bumi juga dinilai sudah memberatkan pelaku industri pertambangan saat ini.
(mfd/wdh)





























