Logo Bloomberg Technoz

PHK Industri TPT, Pabrik Sepatu ‘Sudah Jatuh Tertimpa Tangga’

Rezha Hadyan
17 May 2023 13:30

Kode batang (barcode) QRIS terpampang disalah satu lapak penjualan sepatu di Pasar Minggu, Kamis (11/5/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)
Kode batang (barcode) QRIS terpampang disalah satu lapak penjualan sepatu di Pasar Minggu, Kamis (11/5/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

Bloomberg Technoz, Jakarta – Pepatah ‘sudah jatuh, tertimpa tangga’ menggambarkan apa yang terjadi pada pelaku industri alas kaki di Tanah Air. Mereka dihadapkan pada kenaikan upah pekerja di tengah menurunnya permintaan akibat perlambatan ekonomi global. 

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprinsindo) Firman Bakri mengutarakan kenaikan upah minimum 2023 –yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum 2023– cukup memberatkan bagi pelaku industri padat karya, tidak terkecuali industri tekstil dan produk tekstil (TPT) subsektor alas kaki.

Berdasarkan beleid tersebut, penyesuaian nilai upah minimum 2023 dihitung dengan formula mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Sebelumnya, formulasi pengupahan hanya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi tergantung mana yang lebih besar. 

Terjadi overstock di gudang-gudang peritel, khususnya di Eropa dan AS. Permintaan pun berkurang

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprinsindo) Firman Bakri

“Karena Permenaker No. 18/2022 ini, daerah yang UMK [upah minimum kota/kabupaten]-nya sudah tinggi jadi makin tinggi. Kalau masih pakai aturan lama, mungkin tidak setinggi itu kenaikannya,” katanya ketika dihubungi oleh Bloomberg Technoz, Rabu (17/5/2023).

Aturan lama yang dimaksud Firman adalah turunan dari Undang-Undang (UU) No. 11/2020 tentang Cipta Kerja, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.36/ 2021 tentang Pengupahan.