“Mineral ikutan itu ada berbagai macam. Misalnya kobalt, lalu fero [Fe atau besi]. Itu kan ada produknya dan mineral pengikut itu juga punya value. Dia bukan mineral kotor, tetapi punya nilai seperti kobalt yang bisa diolah sebagai bahan baku prekursor katoda untuk baterai NMC [nickel cobalt manganese],” ujar Meidy.
Di industri baterai, lanjutnya, kobalt sebagai mineral ikutan nikel memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Akan tetapi, selama ini pemerintah hanya menerapkan harga mineral acuan (HMA) kobalt dan belum memperhitungkan formulasi harga untuk bahan baku atau bijihnya.
“Kalau itu bisa dihitung dan dikategorikan sebagai mineral pengikut, kan bisa diterapkan royalti entah 2% atau 10%. Tentu negara kan ada penghasilan tambahan, dan itu angkanya lumayan signifikan karena harga kobalt dua kali lipat [dari harga nikel] walaupun nilai konten kobalt dalam nikel itu hanya 0,1%,” terang Meidy.
Kobalt di London Metal Exchange (LME) pada Rabu diperdagangkan di US$29.210/ton, melonjak 5,26% dari penutupan hari sebelumnya. Berbanding terbalik, nikel dilego di US$16.493/ton, terkoreksi 0,35%. Angka ini terpelanting jauh dari rekor tertinggi harga jual nikel di atas US$20.000/ton pada kisaran 2022—2023.
Indonesia sejak awal 2023 resmi menjadi produsen kobalt terbesar kedua di dunia setelah Kongo. Produksi kobalt Indonesia berhasil melampaui Rusia dan Australia pada 2022.
Benchmark Mineral Intelligence mencatat Indonesia sejauh ini telah menghasilkan lebih dari setengah dari suplai nikel dunia. Untuk kobalt, produksi RI ditaksir naik menjadi hampir 20% total produksi global pada 2030, dari hanya 1% pada 2021. Akan tetapi, selama ini kobalt tidak dikenai tarif royalti oleh pemerintah.
Di dalam dokumen paparan usulan penyesuaian tarif royalti oleh Ditjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dilihat Bloomberg Technoz, logam kobalt sebagai produk ikutan nickel matte sebenarnya sudah diusulkan pemerintah untuk dikenai tarif royalti.
Ditjen Minerba mengusulkan agar kobalt dikenai iuran royalti single tariff sebesar 1,5% dan kobalt ikutan nickel matte dikenai royalti single tariff 2%.
Hanya saja, Meidy menilai usulan tersebut belum mencakup formulasi harga bijih kobalt, sehingga penerapan royaltinya berpotensi rancu.
“Misalnya begini, saya menjual bijih nikel [kadar 1,5%] dengan HMA US$30/ton. Namun, di situ ada kandungan kobaltnya 0,1%. Nah, itu formulasi perhitungan [harga kobalt ikutan untuk menentukan royalti] bagaimana? Karena HMA kobalt ada, tetapi kan selama ini belum ada transaksinya,” tutur Meidy.
“Kalau itu diperhitungkan, akan ada potensi penambahan penerimaan negara kan. Negara bisa mendapatkan duit, tetapi tidak dengan menekan perusahaan atau pengusaha. Fair gitu loh. Kalau membebani perusahaan, nanti tidak ada lagi yang mau produksi.”
Sekadar catatan, realisasi setoran PNBP dari sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) sepanjang 2024 anjlok 10% secara year on year (yoy) menjadi Rp269,5 triliun.Meski demikian, realisasi tersebut masih melampaui atau 115% dari target yang dicanangkan tahun lalu sebesar 234,2 triliun.
Subsektor minerba atau pertambangan berkontribusi paling besar dengan setoran PNBP mencapai Rp140,5 triliun atau menyumbang 46,79%. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada bulan lalu tidak menampik penurunan PNBP tersebut dipengaruhi oleh sektor minerba akibat harga komoditas global yang sedang menurun.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)































