Logo Bloomberg Technoz

Dia menjelaskan sebelum masuk dalam tahap tes kualitas atau quality control (QC), produk BBM Shell yang dibawa dari Singapura dilakukan proses quality of certification atau tes sertifikasi di Singapura maupun saat sampai di Indonesia.

“Di terminal juga kami selalu melakukan QC, jadi kami juga termasuk karena kalau kita lihat di terminal kami itu bukan hanya produk Shell, tetapi juga ada produk badan usaha lain,” ujar Ingrid.

“Sehingga kami harus memastikan bahwa produk yang kami bawa itu memang secara speknya, standarnya sudah sesuai. Itu selalu dipastikan pada saat produk sampai di terminal,” ujarnya.

Kemudian, pada saat produk minyak sampai di terminal, Shell akan mengecek secara acak (sampling). Kondisi itu dilakukan dua kali dalam satu bulan untuk memastikan standar BBM dan hal lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

“Memang saat ini seluruh BBM kami impor termasuk juga RON 92 yang kami bawa dari Singapura,” imbuhnya. 

SPBU BP Milik AKR Corporindo. (Dok perusahaan)

Senada, Direktur Utama PT Aneka Petro Indoraya (BP-AKR Fuels Retail) Vanda Laura mengungkapkan zat aditif yang ditambahkan ke dalam produk BBM ditujukan untuk menjamin kualitas produk yang ingin dihasilkan di Indonesia, berdasarkan ketentuan regulasi pemerintah dan BP Plc.

“Jadi kalau boleh saya jelaskan, pada saat loading di Singapura itu sudah dilakukan satu pengecekan untuk memastikan RON tersebut sesuai dengan spesifikasi yang memang kami minta gitu ya sampai di Jakarta, discharge itu dicek lagi,” ucapnya.

Kemudian, secara berkala atau minimal satu kuartal sekali, bp-AKR melakukan pengujian dengan Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas).

“Jadi pada 2024 secara aktual sudah kami lakukan 50 kali pengujian untuk menjaga kualitas BBM yang kami jual di SPBU,” katanya. 

Injeksi Blending

Pada kesempatan yang sama, PT Pertamina Patra Niaga mengakui bahwa dalam proses produksi BBM jenis Pertamax RON 92, terdapat penambahan zat aditif dan pewarna melalui proses injeksi blending.

Pelaksana Tugas Harian Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo, menegaskan meski terdapat penambahan zat aditif, hal ini tidak akan berdampak pada perubahan angka oktan atau RON.

Hanya saja, penambahan aditif bertujuan untuk meningkatkan nilai serta performa produk dari BBM jenis Pertamax yang dijual perusahaan.

"Penambahan aditif itu juga merupakan benefit tambahan yang kita berikan kepada masyarakat. Hal ini tentunya menjadi bagian dari strategi pemasaran sebetulnya," terang Ega. 

Pertamina Patra Niaga Langsung Cepat Investigasi Kualitas Pertamax Gandeng LAPI ITB (Pertamina)

Menurutnya, penambahan aditif bagi Pertamax dilakukan untuk mencegah terjadinya korosi dan karat. Dengan begitu, mesin kendaraan menjadi lebih bersih.

"Untuk detergensi agar mesin menjadi lebih bersih dan juga untuk performansi akselerasi sehingga kepada konsumen diharapkan juga merasa lebih ringan dalam berkendara," ungkap dia.

Bukan Oplosan

Untuk itu, Pertamina pun membantah apabila produk BBM jenis Pertamax disebut-sebut sebagai produk oplosan. Apalagi, di Terminal bahan bakar minyak (TBBM) atau storage BBM milik perusahaan tidak memiliki fasilitas blending.

"Yang ada adalah fasilitas penambahan aditif dan pewarna [injeksi blending]. Nah, ini menjadi salah satu hal yang ingin kami konfirmasi," imbuhnya.

Di tempat terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia membenarkan metode blending atau yang kerap disalahartikan sebagai oplosan di kilang minyak adalah hal yang diperbolehkan, selama kualitas dan spesifikasinya setara.

Namun, metode ini tidak akan digunakan untuk BBM dengan RON tinggi seperti Pertamax Turbo RON 98.

“Kalau itu beda lagi, itu kan ada RON 90, RON 92, 95, sampai 98. Ya bagus-bagus ini tidak mungkin dicampur, karena itu ada speknya kok. Tidak perlu khawatir,” tuturnya, ditemui di kantor Kementerian ESDM, Rabu (26/2/2025).

Riuh dugaan pengoplosan BBM RON 90 untuk dijadikan sebagai Pertamax RON 92 sebelumnya mencuat di tengah perkembangan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di lingkungan subholding Pertamina, yang tengah diselidiki oleh Kejaksaan Agung.

Kasus yang disinyalir merugikan negara senilai Rp193,7 triliun itu telah menyeret 6 petinggi subholding Pertamina dan 3 broker sebagai tersangka.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengklarifikasi dugaan Pertamax RON 92 yang tidak sesuai spesifikasi tersebut merupakan fakta hukum yang ditemukan tim penyidik Kejagung hanya pada periode 2018—2023, bukan sampai dengan saat ini atau 2025.

“Terkait dengan ada isu oplosan, blending [bahan bakar minyak/BBM Pertamina], dan lain sebagainya; jadi penegasan yang pertama, saya sampaikan bahwa penyidikan ini kan dilakukan dalam tempo 2018—2023. Artinya ini sudah 2 tahun yang lalu,” ujarnya kepada awak media, Rabu (26/2/2025) pagi.

Harli menggarisbawahi temuan Kejagung terkait dengan ketidaksesuaian RON terhadap BBM Pertamina merupakan fakta hukum yang dikumpulkan oleh tim penyidik pada rentang 2018—2023.

“Benar bahwa ada fakta hukum yang diperoleh penyidik bahwa PT Pertamina Patra Niaga melakukan pembayaran dengan nilai RON 92, padahal di dalam kontrak, itu di bawah RON 92. Katakanlah RON 88. Artinya, barang yang datang tidak sesuai dengan price list yang dibayar.”

Menurut Harli, temuan fakta hukum ihwal RON BBM Pertamina tersebut sudah selesai dua tahun lalu. Dengan kata lain, produk Pertamax yang bermasalah sudah habis terserap atau terkonsumsi oleh masyarakat pada periode tersebut. 

Bukan berarti, ujarnya, Pertamax dengan RON tidak sesuai ketentuan yang dipersoalkan oleh Kejagung tersebut masih beredar hingga saat ini.

“Fakta hukumnya ini pada 2018—2023, dan ini sudah selesai. Minyak ini barang habis pakai. Jadi kalau dikatakan stok 2023 itu enggak ada lagi. Ya kan,” ujarnya.

(wdh)

No more pages