Logo Bloomberg Technoz

Kapasitas terpasang pengolahan minyak mentah kumulatif di enam kilang Pertamina mencapai sebesar 1.031 MBOPD, atau sekitar 90% dari kapasitas pengolahan yang ada di Indonesia.

“Setiap kilang itu punya spesifikasi yang berbeda-beda untuk crude yang bisa mereka terima. Jadi tidak semua sama walaupun kilangnya sama-sama di Indonesia,” lanjut Moshe.

Dia mencontohkan beberapa kilang tidak bisa mengolah minyak mentah dengan kadar sulfur tertentu.

Hal-hal teknis seperti itu, menurutnya, perlu dipelajari juga oleh Kejagung dalam menyelidiki kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina, sub holding, dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) periode 2018—2023.

Kontrak Pengadaan

Selain itu, kata Moshe, hal lain yang perlu diperhatikan adalah keberadaan kontrak pengadaan minyak untuk kilang Pertamina. Jika perseroan sudah terikat kontrak eksisting yang sudah dibayar ke pemasok, kontrak tersebut tidak bisa serta-merta dibatalkan. 

“Masalahnya kilang minyak ini kan tidak bisa distop. Kita harus memahami bisnis kilang minyak. Itu sekalinya stop, sehari saja, kerugiannya luar biasa. Bisa ratusan ribu dolar sampai jutaan dolar kerugiannya, sehingga suplai minyaknya itu tidak bisa terhenti atau terganggu.”

Hal itulah yang menyebabkan perusahaan kilang biasanya tidak bisa begitu saja memutus kontrak pengadaan minyak dari pemasok di luar negeri, meski terdapat perubahan aturan untuk memprioritaskan serapan minyak dalam negeri.

Terlebih, sambung Moshe, kontrak jual-beli minyak mentah biasanya bersifat jangka panjang. Jika terpaksa dibatalkan, pihak pembeli harus membayar penalti dalam jumlah yang tidak sedikit.

“Saya belum tahu detail [kasus Pertamina], tetapi saya berharap Kejagung juga memahami benar-benar bisnis migas ini seperti apa, jadi tidak salah menuduh. Hal-hal detail seperti itu harus dipahami benar,” tuturnya.

Moshe pun menyarankan agar Kejagung menggandeng konsultan atau pakar (expert) di sektor bisnis hulu hingga hilir migas, yang memahami proses rantai pasok di Pertamina hingga persoalan spesifikasi kilang perusahaan pelat merah itu. 

Penyidik Kejagung membawa sejumlah barang usai penggeledahan di kantor Ditjen Migas ESDM, Senin (10/2/2025). (Bloomberg Technoz/Mis Fransiska)

Kemarin petang, Kejagung mengumumkan posisi kasus terkait dengan dugaan Pertamina telah melakukan perbuatan melanggar hukum untuk mengakali impor minyak mentah atau crude.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar menjelaskan bahwa pengusutan kasus ini bermula pada 2018 ketika diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM No. 42/2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.

Aturan tersebut mewajibkan Pertamina mengutamakan penyerapan minyak mentah hasil produksi dalam negeri untuk kemudian diolah di kilang perusahaan sebelum bisa melakukan impor. Di sisi lain, KKKS swasta juga diwajibkan menawarkan bagian minyak mentahnya kepada Pertamina sebelum melakukan ekspor.

Namun, dalam perjalanannya, Kejagung menduga adanya upaya untuk menghindari kesepakatan antara KKKS swasta dan Pertamina dalam proses jual beli tersebut.

”Dalam pelaksanaannya, KKKS swasta dan Pertamina, dalam hal ini ISJ dan/atau PT KPI [Kilang Pertamina Indonesia], berusaha untuk menghindari kesepakatan pada waktu penawaran yang dilakukan dengan berbagai cara. Jadi, mulai di situ nanti ada unsur perbuatan melawan hukumnya, ya,” ujar Harli dalam konferensi pers, Senin (10/2/2025).

Kejagung menilai tindakan menghindari kesepakatan jual beli dalam kasus tersebut telah merugikan negara. Pasalnya, minyak mentah dan kondensat bagian negara (MMKBN) yang seharusnya bisa diolah di Kilang Pertamina malah harus tergantikan dengan minyak mentah hasil impor.

"Perbuatan menjual MMKBN tersebut mengakibatkan minyak mentah yang dapat diolah di kilang harus digantikan dengan minyak mentah impor yang merupakan kebiasaan PT Pertamina yang tidak dapat lepas dari impor minyak mentah," jelas Harli. 

Menyitir data Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor minyak mentah Indonesia relatif fluktuatif pada rentang 2018—2023, tetapi cenderung terus mengalami kenaikan setelah periode pandemi pada 2020.

Pada 2018 jumlahnya mencapai 16,93 juta ton; 2019 sebanyak 11,75 juta ton; 2020 sejumlah 10,51 juta ton; 2021 sebesar 13,77 juta ton; 2022 sebanyak 15,26 juta ton; dan 2023 sejumlah 17,83 juta ton.

(wdh)

No more pages