Bloomberg Technoz, Jakarta – Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan memberikan sinyal Indonesia bisa membeli minyak dari Rusia setelah resmi bergabung secara penuh dalam aliansi Brasil, Russia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS) pada Senin (6/1/2025).
Menurut Luhut, pada dasarnya Indonesia bisa membeli minyak dari mana pun, termasuk dari Rusia, sepanjang transaksinya menguntungkan Indonesia dengan mendapatkan harga yang lebih murah dibandingkan dengan mengimpor dari negara lain.
"Ya ke mana saja kalau menguntungkan Republik Indonesia kita beli, kalau kita ada dari bulan kita beli [...] Kalau kita dapat lebih murah US$20 atau US$22 [per barel] kenapa tidak?," ujar Luhut saat ditemui di kantornya, Kamis (9/1/2025).
Sekadar catatan, aliansi Group of Seven (G7), atau yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan sebagainya, memberikan sanksi atas minyak Rusia. Sanksi itu diberikan dengan menerapkan batas harga (price cap) US$60 per barel atas minyak mentah Ural dari Rusia.

Harga Ural bergerak melampaui batas harga ke level US$71,76 per barel pada hari ini, menyitir data Trading Economics.
Kendati demikian, harga minyak dari Rusia itu masih lebih rendah dibandingkan dengan West Texas Intermediate (WTI) dan Brent. Sebagai perbandingan, harga Brent untuk pengiriman Maret masih bertengger di US$76,07/barel pada pukul 11:52 di Singapura hari ini, sedangkan WTI untuk pengiriman Februari US$73,20/barel.
Di lain sisi, Luhut tetap menekankan Indonesia perlu berhati-hati dan membuka komunikasi dengan negara lain bila pada akhirnya memutuskan untuk membeli minyak dari Rusia. Terlebih, saat ini banyak negara yang memberikan sanksi kepada Negari Beruang Merah akibat perang dengan Ukraina.
"Sepanjang itu bisa kita bicarakan kepada beberapa negara lain kenapa tidak? Akan tetapi, tentu kita hati-hati melihat ini dengan bagus," ujarnya.
Bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh aliansi BRICS membuka kembali opsi pembelian minyak dari Rusia, meski kalangan ekonom menilai risikonya akan sangat tinggi bagi Indonesia.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan risiko itu terjadi karena ada potensi sanksi yang bisa dikenakan ke Indonesia jika terafiliasi dengan minyak Rusia.
Mulai dari hambatan tarif bagi produk Indonesia ke Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), dicabutnya berbagai fasilitas perdagangan termasuk generalized system of preference (GSP) yang membuat barang RI kurang kompetitif, hingga dikucilkan dari forum internasional karena pro Rusia.
“Posisinya jadi sangat dilematis. Alih-alih mendapat harga minyak diskon dari Rusia, biaya-biaya untuk mitigasi risikonya jauh lebih besar lagi,” kata Bhima saat dihubungi, Kamis (9/1/2025).
Wacana Indonesia membeli minyak Rusia sejatinya sudah bergulir sejak 2022. Kala itu, Presiden Joko Widodo mempertimbangkan semua opsi untuk mengimbangi tekanan dari kenaikan biaya energi, termasuk membeli minyak dari Rusia.
Hal itu muncul karena Rusia menawarkan minyak dengan harga 30% lebih murah dari harga pasar internasional. Minyak Rusia terimbas sanksi Barat yang mengharuskan adanya price cap atau batasan harga senilai US$60/barel guna mengebiri akses pendanaan perang bagi Moskwa.
Hingga saat ini, hanya India dan China yang masih berani membeli minyak dari Rusia secara terbuka. India, misalnya, mengeklaim telah merasakan keuntungan ekonomis dari impor minyak yang lebih murah.
Negeri Bollywood ditaksir bisa menghemat US$2,7 miliar sepanjang kuartal I—IIII pada 2023 berkat mengimpor minyak dari Rusia. Penghematan tersebut dihitung dari turunannya beban defisit neraca perdagangan, serta kenaikan margin industri kilang di negara tersebut.
Negara Asia Selatan itu tercatat menerima 1,85 juta barel per hari (bph) minyak Negeri Beruang Merah sepanjang periode tersebut.
(dov/wdh)